Dalam sejarahnya, bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Melayu yang ditemukan pertama kali di sekitar pesisir pulau
Sumatera bagian tenggara, dimana yang ditemukan adalah aksara pertama bahasa
Melayu atau Jawi. Bahasa Melayu
memiliki peranan yang sangat kuat dalam pembentukan bahasa Indonesia. Pada era
pemerintahan Belanda di Hindia, bahasa Melayu menjadi bahasa resmi ke-dua
setelah bahasa Belanda dalam korespondensi dengan orang lokal.
Bahasa Indonesia baru
menjadi “resmi” ketika pada awal abad ke-20, mulai ada perpecahan bentuk baku
tulisan pada bahasa Melayu. Pada tahun 1901, Indonesia yang masih menjadi
Hindia-Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan Persekutuan Tanah Melayu yang
nantinya menjadi bagian dari Malaysia mengadopsi ejaan Wilkinson 3 tahun
setelahnya.
Commissie Voor de Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat (KRB) dibentuk
pemerintah Belanda sebagai bentuk intervensi pada tahun 1908 dan nantinya akan
berubah nama menjadi nama yang dikenal baik sebagai Balai Poestaka. Dengan D.A.
Rinkes sebagai pimpinannya, KRB menjalankan sebuah program pada tahun 1910,
yaitu pembuatan perpustakaan kecil di tiap sekolah pribumi dan
fasilitas-fasilitas pemerintah yang diberi nama program Taman Poestaka.
Akibat program Taman Poestaka yang diluncurkan oleh pemerintah Belanda,
terjadi perkembangan yag pesat dimana 700 perpustakaan telah terbangun pada
tahun 1912. Program ini melahirkan berbagai anak bangsa yang hobi mencari ilmu
dan membaca hingga akhirnya pada Kongres Pemuda I tahun 1926 bahasa Melayu
menjadi wacana untuk dikembangkan sebagai bahasa dan sastra Indonesia.
Pada
Kongres Pemuda II tanggal 27 dan 28 Oktober 1928, menghasilkan putusan yang
diterima yakni diikrarkannya bahasa persatuan Indonesia dalam Sumpah Pemuda. Dalam salah satu isi Sumpah Pemuda tertuliskan bahwa pemuda dan pemudi
Indonesia memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pemersatu bangsa.
James Sneddon, penulis the Indonesia Language : Its History and
Rule in Modern Society terbitan UNSW Press, Australia mencatat pula bahwa
butir – butir sumpah pemuda tersebut merupakan bahasa Melayu tinggi. Sneddon
menganalisis dari kata “kami”, “putera”, “puteri” serta prefiks men-.
Soekarno sebagai presiden Republik
Indonesia yang pertama tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya
juga bahasa mayoritas pada saat itu) sebagai bahasa nasional, namun beliau
memilih Bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu yang
dituturkan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1.
Jika
bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia
akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di
Republik Indonesia.
2.
Bahasa
Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada
tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang
berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami
budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
3.
Bahasa
Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, Banjarmasin,
Samarinda, Maluku, Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama
suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhir pun lari ke Riau
selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa
Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Cina
Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
4.
Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di
Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik
Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah
Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan
Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara
jiran di Asia Tenggara.
Dengan memilih Bahasa Melayu Riau,
para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di
Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan. Bahasa
Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi
dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan
pada zaman Penjajahan Jepang.
20 Oktober 1942, didirikan Komisi
Bahasa Indonesia yang bertugas menyusun tata bahasa normatif, menentukan
kata-kata umum dan istilah modern. Pada 1966, selepas perpindahan kekuasaan ke
tangan pemerintah Orde Baru, terbentuk Lembaga Bahasa dan Budaya di bawah
naungan Departemen Pendidikan Kebudayaan. Lembaga ini berganti nama menjadi
Lembaga Bahasa Nasional pada 1969, dan sekarang berkembang dengan nama yang
dikenal, Pusat Bahasa. Tanggung jawab kerja Pusat Bahasa antara lain
meningkatkan mutu bahasa, sarana, serta kepedulian masyarakat terhadap bahasa.
Mulanya Bahasa Indonesia ditulis
dengan tulisan Latin-Romawi mengikuti ejaan Belanda, hingga tahun 1972 ketika
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dicanangkan. Dengan EYD, ejaan dua bahasa
serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.
Penyempurnaan Ejaan
Bahasa Indonesia mengalami beberapa kali pengubahan ejaan, dimana ejaan pertama diberi nama ejaan van Ophuijsen. Ejaan ini merupakan ejaan Melayu yang dituliskan menggunakan huruf Latin, dan disusun oleh Charles van Ophuijsen serta Nawawi Soetan Ma’moer & Moehammad Taib Soetan Ibrahim sebagai pembantunya dalam penyusunan ejaan ini pada tahun 1896. Ciri khas ejaan ini adalah:
Bahasa Indonesia mengalami beberapa kali pengubahan ejaan, dimana ejaan pertama diberi nama ejaan van Ophuijsen. Ejaan ini merupakan ejaan Melayu yang dituliskan menggunakan huruf Latin, dan disusun oleh Charles van Ophuijsen serta Nawawi Soetan Ma’moer & Moehammad Taib Soetan Ibrahim sebagai pembantunya dalam penyusunan ejaan ini pada tahun 1896. Ciri khas ejaan ini adalah:
·
Ejaan ini menggunakan ï
sebagai pembeda huruf i yang digunakan untuk akhiran serta sebagai pengganti
huruf y.
·
Penggunaan huruf j
sebagai pengganti y dalam kata-kata: jang, sajang, pajah, dan lainnya.
·
Penggunaan huruf oe
sebagai pengganti u dalam kata-kata: goeroe, boeang, dan semacamnya.
·
Penggunaan diakritik
seperti petik satu untuk mengganti huruf k seperti misalnya pada: ma’moer,
ta’, pa’, dan lain-lain.
Ejaan pengganti Ophuijsen adalah ejaan Republik yang dikenal juga dengan
nama ejaan Soewandi. Ejaan ini diresmikan pada 19 Maret 1947 dan memiliki ciri
sebagai berikut:
·
Huruf oe tidak lagi
digunakan, dan mulai menggunakan huruf u.
·
Penggunaan petik satu
untuk bunyi sentak digantikan dengan huruf k seperti misalnya: sentak,
tidak, tak, dan lain sebagainya.
·
Penggunaan angka 2
untuk kata yang diulang seperti: main2, makan2, dan lain-lain.
·
Tidak adanya perbedaan
antara awalan di- dengan kata depan di.
Ejaan yang Disempurnakan (EYD) diresmikan pada tanggal 16 Agustus 1972
oleh Presiden dan menjadi dasar penulisan yang berlaku hingga saat ini. Dalam
ejaan ini, ada beberapa hal berubah:
·
Penggunaan huruf c yang
menggantikan tj seperti misalnya pada kata-kata: tjontoh, tjandra, tjatjing,
dan lainnya.
·
Dj digantikan dengan
huruf j.
·
Penggantian ch menjadi
kh.
·
Pengubahan penulisan nj
menjadi ny.
·
Perubahan sj menjadi
sy, dan yang terakhir
·
Perubahan j menjadi y.
Sejarah bahasa Indonesia merupakan sebuah sejarah
perjuangan suatu bangsa untuk menetapkan eksistensinya di mata negara lain.
Perjuangan bangsa Indonesia untuk menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa
Nasional bukanlah perkara mudah, mengingat Indonesia sempat dijajah
berkali-kali, dan hal itu mengubah cara pengejaan kata per kata meskipun tidak
begitu signifikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar