Rabu, 22 Maret 2017

SEJARAH ASAL - USUL BAHASA INDONESIA



Dalam sejarahnya, bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang ditemukan pertama kali di sekitar pesisir pulau Sumatera bagian tenggara, dimana yang ditemukan adalah aksara pertama bahasa Melayu atau Jawi. Bahasa Melayu memiliki peranan yang sangat kuat dalam pembentukan bahasa Indonesia. Pada era pemerintahan Belanda di Hindia, bahasa Melayu menjadi bahasa resmi ke-dua setelah bahasa Belanda dalam korespondensi dengan orang lokal.

Bahasa Indonesia baru menjadi “resmi” ketika pada awal abad ke-20, mulai ada perpecahan bentuk baku tulisan pada bahasa Melayu. Pada tahun 1901, Indonesia yang masih menjadi Hindia-Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan Persekutuan Tanah Melayu yang nantinya menjadi bagian dari Malaysia mengadopsi ejaan Wilkinson 3 tahun setelahnya.
Commissie Voor de Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat (KRB) dibentuk pemerintah Belanda sebagai bentuk intervensi pada tahun 1908 dan nantinya akan berubah nama menjadi nama yang dikenal baik sebagai Balai Poestaka. Dengan D.A. Rinkes sebagai pimpinannya, KRB menjalankan sebuah program pada tahun 1910, yaitu pembuatan perpustakaan kecil di tiap sekolah pribumi dan fasilitas-fasilitas pemerintah yang diberi nama program Taman Poestaka.
Akibat program Taman Poestaka yang diluncurkan oleh pemerintah Belanda, terjadi perkembangan yag pesat dimana 700 perpustakaan telah terbangun pada tahun 1912. Program ini melahirkan berbagai anak bangsa yang hobi mencari ilmu dan membaca hingga akhirnya pada Kongres Pemuda I tahun 1926 bahasa Melayu menjadi wacana untuk dikembangkan sebagai bahasa dan sastra Indonesia.
Pada Kongres Pemuda II tanggal 27 dan 28 Oktober 1928, menghasilkan putusan yang diterima yakni diikrarkannya bahasa persatuan Indonesia dalam Sumpah Pemuda. Dalam salah satu isi Sumpah Pemuda tertuliskan bahwa pemuda dan pemudi Indonesia memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa. James Sneddon, penulis the Indonesia Language : Its History and Rule in Modern Society terbitan UNSW Press, Australia mencatat pula bahwa butir – butir sumpah pemuda tersebut merupakan bahasa Melayu tinggi. Sneddon menganalisis dari kata “kami”, “putera”, “puteri” serta prefiks men-.
Soekarno sebagai presiden Republik Indonesia yang pertama tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu) sebagai bahasa nasional, namun beliau memilih Bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu yang dituturkan di Riau.

Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1.      Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.
2.      Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
3.      Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Maluku, Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhir pun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Cina Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
4.       Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara.
Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan. Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang.
20 Oktober 1942, didirikan Komisi Bahasa Indonesia yang bertugas menyusun tata bahasa normatif, menentukan kata-kata umum dan istilah modern. Pada 1966, selepas perpindahan kekuasaan ke tangan pemerintah Orde Baru, terbentuk Lembaga Bahasa dan Budaya di bawah naungan Departemen Pendidikan Kebudayaan. Lembaga ini berganti nama menjadi Lembaga Bahasa Nasional pada 1969, dan sekarang berkembang dengan nama yang dikenal, Pusat Bahasa. Tanggung jawab kerja Pusat Bahasa antara lain meningkatkan mutu bahasa, sarana, serta kepedulian masyarakat terhadap bahasa.
Mulanya Bahasa Indonesia ditulis dengan tulisan Latin-Romawi mengikuti ejaan Belanda, hingga tahun 1972 ketika Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dicanangkan. Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.
Penyempurnaan Ejaan
Bahasa Indonesia mengalami beberapa kali pengubahan ejaan, dimana ejaan pertama diberi nama ejaan van Ophuijsen. Ejaan ini merupakan ejaan Melayu yang dituliskan menggunakan huruf Latin, dan disusun oleh Charles van Ophuijsen serta Nawawi Soetan Ma’moer & Moehammad Taib Soetan Ibrahim sebagai pembantunya dalam penyusunan ejaan ini pada tahun 1896.
Ciri khas ejaan ini adalah:
·         Ejaan ini menggunakan ï sebagai pembeda huruf i yang digunakan untuk akhiran serta sebagai pengganti huruf y.
·         Penggunaan huruf j sebagai pengganti y dalam kata-kata: jang, sajang, pajah, dan lainnya.
·         Penggunaan huruf oe sebagai pengganti u dalam kata-kata: goeroe, boeang, dan semacamnya.
·         Penggunaan diakritik seperti petik satu untuk mengganti huruf k seperti misalnya pada: ma’moer, ta’, pa’, dan lain-lain.
Ejaan pengganti Ophuijsen adalah ejaan Republik yang dikenal juga dengan nama ejaan Soewandi. Ejaan ini diresmikan pada 19 Maret 1947 dan memiliki ciri sebagai berikut:
·         Huruf oe tidak lagi digunakan, dan mulai menggunakan huruf u.
·         Penggunaan petik satu untuk bunyi sentak digantikan dengan huruf k seperti misalnya: sentak, tidak, tak, dan lain sebagainya.
·         Penggunaan angka 2 untuk kata yang diulang seperti: main2, makan2, dan lain-lain.
·         Tidak adanya perbedaan antara awalan di- dengan kata depan di.
Ejaan yang Disempurnakan (EYD) diresmikan pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden dan menjadi dasar penulisan yang berlaku hingga saat ini. Dalam ejaan ini, ada beberapa hal berubah:
·         Penggunaan huruf c yang menggantikan tj seperti misalnya pada kata-kata: tjontoh, tjandra, tjatjing, dan lainnya.
·         Dj digantikan dengan huruf j.
·         Penggantian ch menjadi kh.
·         Pengubahan penulisan nj menjadi ny.
·         Perubahan sj menjadi sy, dan yang terakhir
·         Perubahan j menjadi y.
Sejarah bahasa Indonesia merupakan sebuah sejarah perjuangan suatu bangsa untuk menetapkan eksistensinya di mata negara lain. Perjuangan bangsa Indonesia untuk menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa Nasional bukanlah perkara mudah, mengingat Indonesia sempat dijajah berkali-kali, dan hal itu mengubah cara pengejaan kata per kata meskipun tidak begitu signifikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar