PENDAHULUAN
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen
penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme
ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan
kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah
satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap
berada pada koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang
tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin
kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal
Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya,
internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan
(ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan
istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf
fiha,atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan
penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang
disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok)
yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang
dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu:
ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri
yaitu: Istihsan, istishab, Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab
sahabi.
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat Istishab yang mencakup pengertian, macam-macamnya, kehujjahannya, kaidah-kaidahnya, dan contoh-contoh produk hukumnya.
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat Istishab yang mencakup pengertian, macam-macamnya, kehujjahannya, kaidah-kaidahnya, dan contoh-contoh produk hukumnya.
ISI
A.
Pengertian
Istishab
Istishab menurut etimologi berasal dari kata
istishaba dalam sighat istif’al(اِسْتِفْعَالِ) yang bermakna: اِسْتِمْرَارُ
الصَّحَبَهْ. Kalau kata الصَّحَبَهْ
diartikan dengan sahabat atau teman dan اِسْتِمْرَارُ diartikan
selalu atau terus menerus, maka istishab secara lughawi artinya selalu menemani
atau selalu menyertai. Atau diartikan dengan minta bersahabat, atau
membandingkan sesuatu dan mendekatkannya, atau pengakuan adanya perhubungan
atau mencari sesuatu yang ada hubungannya. Dan disebutkan juga bahwa istishab
berasal dari kata shuhbah artinya “menemani atau menyerta”, dalam artian
menurut kebersamaan atau “terus menerusnya bersama”.sebagaimana yang dikatakan
oleh para ahli bahasa dengan mengatakan:
كُلُّ شَيْءٍ
لَازَمَ شَيْئَا فَقَدْ اِسْتِصْحَبَه
Artinya: “Segala sesuatu yang menetapi pada sesuatu, maka ia menemani atau menyertainya”.
Artinya: “Segala sesuatu yang menetapi pada sesuatu, maka ia menemani atau menyertainya”.
Dari pengertian yang lain, menurut bahasa
perkataan Istishab diambil dari perkataan “Istishhabtu maa kaana fil maadhi,”
artinya “saya membawa serta apa yang telah ada waktu yang lampau sampai
sekarang.
Menurut Istilah Usul, Istishhab ialah
melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena
sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
Atau dengan perkataan lain; Istishhab ialah menganggap hukum sesuatu soal yang
telah ada menyertai tetap soal tersebut, sampai ada dalil yang memutuskan adanya
penyertaan tersebut. Kalau sesuatu dalil syara` menetapkan adanya sesuatu hukum
pada sesuatu waktu yang telah lewat dan menetapkan pula berlakunya untuk
seterusnya, maka hukum tersebut tetap berlaku, tanpa diragukan lagi. Seperti
firman Allah:“Jangan kamu terima persaksian mereka selamanya.”. Akan tetapi
kalau dalil tersebut hanya menetapkan adanya hukum saja, pada waktu yang telah
lampau, tanpa menyinggung-nyinggung tetap berlakunya, maka apakah hukum
tersebut dianggap telah berlaku atau tidak?.Sedang menurut istilah ditemukan
beberapa redaksi dari para ahli yang mendefinisikannya, diantaranya adalah:
¯ Imam al-
Asnawy:
اَنَّ اْلِإسْتِصْحَابَ عِبَارَةٌ عَنِ اْلحُكْمِ يُثْبِتُوْنَ اَمْرًا فِى الزَّمَانِ الثَّانِى بِنَاءً عَلَى ثُبُوْتِهِ فِى الزَّمَانِ الأَوَّلِ لِعَدَمِ وُجُوْدِ مَايَصْلُحُ ِللتَّغَيُّر
Artinya : “Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan sudah ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai ditemukan dalil lain yang mengubah ketentuan hukum tersebut.”
اَنَّ اْلِإسْتِصْحَابَ عِبَارَةٌ عَنِ اْلحُكْمِ يُثْبِتُوْنَ اَمْرًا فِى الزَّمَانِ الثَّانِى بِنَاءً عَلَى ثُبُوْتِهِ فِى الزَّمَانِ الأَوَّلِ لِعَدَمِ وُجُوْدِ مَايَصْلُحُ ِللتَّغَيُّر
Artinya : “Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan sudah ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai ditemukan dalil lain yang mengubah ketentuan hukum tersebut.”
¯ Istishab diartikan Hasby Ash-Shiddiqy dengan:
اِبْقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ لِانْدَامِ اْلُمغَيِّرِ (اِعتِقَادُ كَوْنِ الشَّئِ فِى اْلمَاضِى اَوِ الْحَاضِر (يُوْجِبُ ِظَنَّ ثُبُوْتِهِ فِى اْلحَالِ اَوِاْلإِسْتِقْبَاِلِ
Artinya : “Mengekalkan apa yang telah ada atas keadaan yang telah ada, karena tidak ada yang mengubah hukum, atau karena sesuatu hal yang belum diyakini.”
Dari pengertian yang lain juga disebutkan,
istishab berasal dari bahasa Arab ialah: pengakuan adanya perhubungan.
Sedangkan dari kalangan ulama` (ahli) ushul fiqih Istishab menurut istilah
adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga
ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan tersebut.Atau menetapkan
hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih tetap pada keadaannya itu,
sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya. Adapun definisi Istishab
menurut Al Ghazali adalah berpegang pada dalil akal atau syara`, bukan
didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan
pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum
yang telah ada. Atau tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu
peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut, atau menyatakan
tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan
hukum itu.
Menurut Ibnu Qayyim, istishab adalah menyatakan
tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan
belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya.
Menurut Asy Syatibi,istishab adalah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada
masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik sebuah ikhtisar bahwa istishab adalah:
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik sebuah ikhtisar bahwa istishab adalah:
1.
Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa
lampau, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada
yang mengubahnya. Contohnya adalah sebagai berikut: Seseorang yang mulanya
ada wudhu, kemudian datang was-was dalam hatinya, bahwa boleh jadi dia telah
mengeluarkan angin yang membatalkan wudhunya. Dalam kondisi begini, hendaklah
ia menetapkan hukum semula, yaitu ada wudhu. Dan was-was yang datang belakangan
itu, tidak boleh mengubah hukum yang semula.
2.
Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu
telah ditetapkan pada masa yang lalu.
Contohnya adalah sebagai berikut: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu, maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Karena dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum tali perkawinan walaupun mereka telah lama berpisah.
Contohnya adalah sebagai berikut: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu, maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Karena dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum tali perkawinan walaupun mereka telah lama berpisah.
B.
Macam- Macam
Istishab
Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam, Yaitu:
Para ulama ushul Fiqih mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam, Yaitu:
1. Istishab
hukm al- ibahah al ashliyah. Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu yang
bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan
keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan yang ada dihutan merupakan milik
bersama manusia dan masing-masing berhak menebang dan mengambil manfaatkan
pohon dan buahnya, sampai pada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah
menjadi milik orang.
2. Istishab
Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan
berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i. Maksudnya
memberlakukan kelanjutan status ketiadaan dengan adanya peniadaan yang dibuat
oleh akal lantaran tidak adanya dalil syar’i yang menjelaskannya. Dalam
objektivitasnya, istishab tersebut bereferensi kepada hukum akal dalam hukum
ibadah atau baraatul ashliyah (kemurnian menurut aslinya). Akal menetapkan
bahwa dasar hukum pada segala yang diwajibkan adalah dapat diwajibkan sesuatu,
kecuali apabila datang dalil yang tegas mewajibkannya. Contoh: hukum wudhu
seseorang dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang
membatalkannya.
3. Istishab
Al-‘Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum
sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama
tidak ada dalil yang naskh (yang membatal-kannya). Suatu nashyang umum mencakup
segala yang dapat dicakup olehnya sehingga datang suatu nash lain yang
menghilangkan tenaga pencakupannya itu dengan jalan takhsish. Atau sesuatu
hukum yang umum, tidaklah dikecualikan sesuatupun daripadanya, melainkan dengan
ada suatu dalilyang khusus. Contohnya: kewajiban puasa di Bulan Ramadhan yang
berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap wajib wajib bagi umat Islam
(QS.Al-Baqarah : 183) selama tidak ada nash lain yang membatalkannya.
4. Istishab
An-Nashshi (Istishab Maqlub/Pembalikan). Yaitu istishab pada kondisi sekarang dalam
menentukan status hukum pada masa lampau, sebab istishab pada bentuk-bentuk
sebelumnya, merupakan penetatapan sesuatu pada masa kedua berdasarkan
ketetapannya pada masa pertama lantaran tidak ditemukannya dalil secara
spesifik. Urgensinya, dalam suatu dalil (nash) terus-menerus berlaku sehingga
di-nasakh-kan oleh sesuatu nash, yang lain. Contoh: kasus adanya seseorang yang
sedang dihadapkan pertanyaan, apakah Muhammad kemarin berada di tempat
ini?,padahal kemarin ia benar-benar melihat Muhammad disini. Maka ia jawab,
benar ia berada disini kemarin.
5. Istishab
Al-Washfi Ats-Tsabiti. Sesuatu yang telah diyakini adanya, atau
tidak adanya masa yang telah lalu, tetaplah hukum demikian sehingga diyakini
ada perubahannya. Disebut pula denganistishabul madhi bilhali yakni menetapkan
hukum yang telah lalu sampai kepada masa sekarang. Yaitu istishab terhadap
hukum yang dihasilkan dari ijma’ dalam kasus yang dalam perkembangannya memicu
terjadinya perselisihan pendapat. Contoh: Kasus orang yang bertayamum, dalam
pertengahan shalat melihat air. Menurut ijma’ ditetapkan shalatnya tidak batal,
keabsahan shalat itu ditentukan sebelum melihat air. Hal ini menunjukkan pula
pada keberlanjutan ketetapan hukum, sampai ditemukan adanya dalil yang
menunjukkan batalnya penetapan tersebut.
C.
Kedudukan Istishab Sebagai Sumber Hukum Islam
Para Ulama Ushul Fiqih berbeda pendapat tentang
kehujjahan Istishab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus
yang dihadapi.
Pertama, menurut mayoritas mutakallimin (ahli
kalam), istishab tidak bisa dijadikan dalil.Karena hukum yang ditetapkan pada
masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang
sama pada masa sekarang dan yang akan datang. Istishab bukanlah dalil,
karenanya menetapkan hukum yang ada pada masa lampau berlangsung terus untuk
masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini sama
sekali tidak dibolehkan dalam syara’.
Kedua, menurut mayoritas ulama Hanafiah,
khususnya mutaakhirin, istishab bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum
yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang
akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada. Alasan mereka
seorang mujtahid dalam meneliti hukum suatu masalah yang sudah ada, mempunyai
gambaran bahwa hukumnya sudah ada atau sudah di batalkan. Akan tetapi ia tidak
mengetahui atau tidak menemukan dalil yang menyatakan bahwa hukum itu sudah
dibatalkan. Dalam kaitan ini, mujtahid tersebut harus berpegang kepada hukum
yang sudah ada, karena ia tidak mengetahui adanya dalil yang membatalkan hukum
itu. Namun penetapan ini hanya berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya dan
tidak berlaku bagi kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya, stishab hanya
bisa dijadikan hujjah untuk mempertahankan hukum yang sudah ada, selama tidak
ada dalil yang membatalkan hukum itu, tetapi tidak berlaku untuk menetapkan hak
yang baru muncul.
Ketiga, ulama Malikiyah, Syafi’iyyah,
Hanabilah, zhahiriyah dan syiah berpendapat bahwa istishab bisa dijadikan
hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada
dalil yang mengubahnya.Alasannya adalah, sesuatu yang telah ditetapkan pada
masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara qath’i maupun
zhanni, maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena
di duga keras belum ada perubahan.Alasan yang menunjukkan berlakunya berlakunya
syari’at di zaman Rasulullah Saw sampai hari kiamat adalah menduga keras
berlakunya syariat itu sampai sekarang, tanpa ada dalil yang menasakh-kannya.
D.
Kaidah-kaidah Istishab
Para ulama fiqih menetapkan beberapa kaidah umum
yang didasarkan kepada istishab, diantaranya adalah:
الاصل بقاء ما
كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره
Maksudnya, pada dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi. Contohnya: adalah kasus orang yang hilang diatas.
الاصل فى الأشياء الأباحة
Maksudnya, pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah boleh dimanfaatkan.Melalui kaidah ini, maka seluruh akad dianggap sah, selama tidak ada dalil yang menunjukkan hukumnya batal; sebagaimana juga pada sesuatu yang tidak ada dalil syara’yang melarangnya, maka hukumnya adalah boleh.
اليقين لايزال بالسك
Maksudnya, pada dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi. Contohnya: adalah kasus orang yang hilang diatas.
الاصل فى الأشياء الأباحة
Maksudnya, pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah boleh dimanfaatkan.Melalui kaidah ini, maka seluruh akad dianggap sah, selama tidak ada dalil yang menunjukkan hukumnya batal; sebagaimana juga pada sesuatu yang tidak ada dalil syara’yang melarangnya, maka hukumnya adalah boleh.
اليقين لايزال بالسك
Maksudnya, suatu keyakinan tidak bisa
dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan. Melalui kaidah ini, maka seseorang yang
telah berwudu, apabila merasa ragu akan wudunya itu apakah telah batal atau
belum, maka ia harus berpegang kepada keyakinanya bahwa ia telah berwudu, dan
wudunya tetap sah. Tetapi ulama Malikiyah melakukan pengecualian dalam masalah
shalat.Menurutnya apabila keraguan tersebut berkaitan dengan shalat, maka
kaidah ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, apabila seseorang ragu dalam masalah
wudunya, maka ia wajib berwudu kembali.
الأصل فى الذ مة
البراءة من التكاليف والحقوق
Maksudnya, pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang menetapkan tanggung jawab seseorang. Oleh sebab itu, seseorang tergugat dalam kasus apapun tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat dan meyakinkan bahwa ia bersalah.
Maksudnya, pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang menetapkan tanggung jawab seseorang. Oleh sebab itu, seseorang tergugat dalam kasus apapun tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum adanya pembuktian yang kuat dan meyakinkan bahwa ia bersalah.
KESIMPULAN
Istishhab ialah melanjutkan berlakunya hukum
yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil
lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain;
Istishhab ialah menganggap hukum sesuatu soal yang telah ada menyertai tetap
soal tersebut, sampai ada dalil yang memutuskan adanya penyertaan tersebut.
Kalau sesuatu dalil syara` menetapkan adanya sesuatu hukum pada sesuatu waktu
yang telah lewat dan menetapkan pula berlakunya untuk seterusnya, maka hukum
tersebut tetap berlaku, tanpa diragukan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar