PENDAHULUAN
Masalah khilafiah
merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Di antara
masalah khilafiah tersebut ada yang menyelesaikannya
dengan cara yang sangat sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian
berdasarkan akal sehat. Akan tetapi dibalik itu, masalah khilafiah
menjadi ganjalan untuk menjalin kehanhonisan di kalangan umat Islam karena
sifat ta'asyubiyah (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan
akal yang sehat. Perbedaan pendapat (masalah khilafiah dalam fiqh), dalam
lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang
sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum islam, bahkan sebaliknya bisa
memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi
saw., dalam haditsnya: إخْتِلافُ
أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
Artinya:
"Perbedaan pendapat (di kalangan) uinatku adalah
rahmat."
Hadits ini dapat diambil kesimpulan, bahwa orang itu bisa bebas memilih
salah satu pendapat dari beberapa pendapat, tidak terpaku hanya kepada satu
pendapat saja.
ISI
PENGERTIAN
Khilafiah
adalah perbedaan dalam memandang suatu masalah, lebih tepatnya dalam
mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil Quran dan Sunnah.
SEBAB-SEBAB TIMBULNYA KHILAFIAH
Ada beberapa
sebab yang mengakibatkan munculnya perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh, di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Ikhtilaf al-Qira-at; ( اختلاف القراءات)
Ikhtilaf al-Qira-at adalah perbedaan dalam
cara membaca nash al-Qur’an. Sebagai contoh pada bacaan ayat al-Qur’an
yang menjelaskan tentang cara berwudu, khususnya dalam membasuh kaki; apakah
kaki itu wajib dibasuh atau cukup diusap saja. Adanya perbedaan hukum mengenai
wajib tidaknya membasuh kaki ini disebabkan adanya perbedaan dalam membaca nash
al-Qur’an berikut ini:
يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَ ةِ
فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا
بِرُئُووْسِكُمْ وَأَرْجُلكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Ulama berbeda pendapat dalam membaca nash
ayat tersebut, khususnya pada kata “ وأرجلكم” .
Imam Nafi’, Ibnu ‘Amir dan al-Kisa-i membaca
kata وأرجلكم dengan me-nashab-kan,
yakni وَأَرْجُلَكُمْ . Bacaan ini mengandung
konsekwensi hukum wajibnya membasuh kedua kaki pada saat wudlu, karena menjadi
‘athaf (mengikut) pada perintah membasuh muka dan kedua tangan.
Sedangkan Ibnu Katsir, Abu ‘Amr dan Hamzah
membaca kata وأرجلكم
dengan men-jarr-kan, yakni وَأَرْجُلِكُمْ
. Bacaan ini mengandung konsekwensi hukum wajibnya mengusap kaki ketika
melakukan wudu, karena menjadi ‘athaf (mengikuti) pada perintah mengusap
kepala.
Dengan adanya perbedaan bacaan terhadap nash
tersebut, khususnya pada kata وأرجلكم
maka mengakibatkan perbedaan hukum dalam berwudu. Yang pertama berpendapat
bahwa kaki itu wajib dibasuh, sedangkan yang kedua berpendapat bahwa kaki itu
wajib diusap saja.
Tentang ini, mayoritas ulama lebih cenderung pada pendapat yang pertama,
yakni wajib membasuh kaki ketika melakukan wudu.
2.
‘Adam al-Iththila’ ‘ala al-Hadits; (عدم الا طلاع على الحديث)
Yang dimaksud dengan ‘Adam al-Iththila’ ‘ala
al-Hadits adalah tidak mendapatkan suatu hadits dalam masalah hukum tertentu. Hal ini terjadi karena tingkat pengetahuan para sahabat Nabi
berbeda-beda. Ada yang banyak menguasai hadits atau sunnah Nabi, ada juga yang
hanya sedikit saja. Di samping itu adakalanya, ketika Nabi sedang menyampaikan
keterangan tentang sesuatu hukum, sebagian sahabat tidak hadir, sehingga tidak
mengetahui tentang hukum suatu masalah. Akibat tidak seragamnya pengetahuan
sahabat Nabi tentang hadits itu menyebabkan mereka berbeda dalam menetapkan
suatu hukum.
Sebagai contoh, pada suatu ketika seorang sahabat Nabi Saw yang bernama
Abu Bakr (sahabat kecil) mendengar Abu Hurairah berkata:
مَنْ
أَدْرَكَهُ الْفَجْرُ جُنُباً فَلاَ يَصُمْ
Artinya:“Barangsiapa masuk waktu subuh masih
dalam keadaan junub, maka puasanya tidak sah”.
Ketika mendengar ucapan Abu Hurairah seperti
itu maka oleh Abu Bakr kemudian dikonfirmasikan kepada ayahnya ( Abd al-Rahman
bin al-Harits), lalu ayahnya itu tidak membenarkan apa yang dikatakan oleh Abu
Hurairah itu. Selanjutnya kedua orang itu datang kepada ‘Aisyah ra. dan Ummu Salamah
ra. dan menanyakan persoalan tadi kepada keduanya. Lalu ‘Aisyah dan Ummu
Salamah menjelaskan bahwa:
كَانَ
النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُباً مِنْ غَيْرِ حِلْمٍ
ثُمَّ يَصُوْمُ
Artinya: “Nabi Saw pernah di pagi hari masih dalam keadaan junub,
tetapi ia tetap melanjutkan puasanya”.
Setelah itu Abu Bakr
dan Abd al-Rahman bin al-Harits datang kepada Marwan dan menceritakan masalah
tersebut. Lalu mereka mendatangi Abu Hurairah dan menjelaskan tentang keadaan
Nabi Saw yang bertentangan dengan perkataannya tadi. Abu Hurairah bertanya:
“Apakah Aisyah ra. dan Ummu Salamah ra. berkata begitu?”. Mereka menjawab, ya!
Abu Hurairah berkata: “Mereka berdua tentu lebih tahu”! Setelah itu Abu
Hurairah merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh kedua istri Nabi tersebut.
Terjadinya
perbedaan pendapat mengenai sah tidaknya puasa bagi orang yang junub
hingga pagi hari tersebut disebabkan oleh karena tidak mendapatkannya informasi
mengenai hadits dari Nabi Saw. Abu Hurairah sempat
menganggap batal puasanya bagi orang yang junub hingga pagi hari, karena
ia tidak mendapatkan hadits yang menerangkan tentang keabsahannya. Tetapi
setelah ia mendengar ada hadits tersebut dari Aisyah dan Ummu salamah, akhirnya
ia menerima pendapat yang mengatakan tetap sahnya puasa bagi orang yang junub
hingga pagi hari.
3.
Al-Syakk Fi Tsubut al-Hadits; (الشك فى ثبوت الحديث)
Yang dimaksud dengan Al-Syakk Fi Tsubut
al-Hadits adalah keraguan terhadap keberadaan sebuah hadits. Hal ini
menjadi bagian dari sikap kehati-hatian para sahabat dan ulama berikutnya dalam
menerima hadits Nabi Saw. Mereka, para sahabat itu, tidak buru-buru mengamalkan
suatu hukum sebelum jelas benar bahwa memang ada hadits dari Nabi yang
menerangkannya. Jika tidak yakin terhadap keberadaan hadits maka mereka memilih
tawaqquf atau diam yakni tidak mau mengamalkan sesuatu amalan yang tidak
jelas dasarnya.
Sebagai contoh kasus tentang orang yang makan atau minum di saat puasa
karena kelupaan. Tentang ini, mayoritas ulama ahli fiqh berpendapat bahwa
apabila ada orang yang lupa makan dan minum di saat puasa Ramadlan maka ia
tidak berkewajiban mengqadlanya atau membayar denda. Para ulama ini berpendapat
berdasarkan hadits dari Abu Hurairah ra. Ia berkata:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ نَسِىَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْشَرِبَ
فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
Artinya: “Rasulullah
Saw bersabda: “Barangsiapa lupa makan atau minum pada saat ia dalam keadaan
berpuasa maka hendaklah ia melanjutkan puasanya, karena sesungguhnya Allahlah
yang telah memberikannya makan dan minum”.
Tentang ini Imam Malik berbeda pendapat. Menurutnya, orang yang sedang
berpuasa kemudian ia makan karena lupa maka batallah puasanya dan ia wajib
mengqadlanya. Dalam pandangan Malik, berbuka itu adalah lawan dari berpuasa.
Menahan makan dan minum adalah merupakan rukun puasa. Ia menyamakan dengan
orang yang lupa jumlah rakaat dalam shalat.Karena itu jika ia lupa makan pada
saat berpuasa, maka ia wajib mengqadlanya, karena mencegah makan pada saat
puasa itu termasuk rukun puasa yang harus dijaga.
Tentang hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tersebut, Imam Malik
meragukannya. Ia tidak mendapatkan hadits itu. Kalaulah ada hadits
seperti itu, statusnya sebagai khabar wahid, tidak populer. Kalau ada
hadits yang tidak populer kemudian bertentangan dengan kaidah-kaidah yang
berlaku, maka ia tidak mau mengamalkannya.
Akibat dari keberadaan hadits yang diragukan tersebut, muncullah
perbedaan pendapat. Bagi yang meyakini keberadaan hadits tersebut, sebagaimana
yang diyakini oleh mayoritas ulama, mereka menetapkan bahwa orang yang lupa
makan dan minum ketika sedang berpuasa, tidak membatalkan puasanya dan ia
tidak berkewajiban mengqadlanya. Tetapi bagi mereka yang meragukan akan
keberadaan hadits tersebut, seperti Imam Malik maka ia berketetapan bahwa orang
yang berpuasa lalu lupa kemudian makan maka puasanya dianggap batal.
4.
Al-Isytirak Fi
al-Ma’na; (الاشتراك فى المعنى)
Satu kata yang mempunyai makna dua atau lebih, dalam bahasa Arab disebut lafadh musytarak.
Dalam al-Qur’an , terkadang Allah menggunakan kata-kata yang
mengandung makna ganda atau yang disebut dengan “Al-Isytirak Fi al-Ma’na”. Misalnya
firman Allah Swt.:
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ
الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُو ا النَّساَءَ فِى الْمَحِيْضِ
وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ
حَتَّى يَطْهُرْنَ
Artinya: “Mereka
bertanya kepadamu tentang المحيض , katakanlah bahwa dia (المحيض)
itu kotor (penyakit). Karena itu maka jauhilah wanita pada المحيض .
Janganlah kalian mendekatinya hingga mereka dalam keadaan suci”.
Dalam bentuk mashdar, kata المحيض berarti haid. Sedangkan sebagai isim makan,
المحيض
berarti tempat haid yakni farj atau kemaluan. Dari sini kata المحيض
jelas menunjukkan arti ganda.
Ulama fiqh dalam memahami ayat tersebut agaknya berbeda-beda. Ada yang
memahami dengan haid dan ada pula yang memahami dengan tempat haid. Hal
ini tentu berpengaruh pada penetapan hukum.
Imam Malik, Syafi’i (dalam salah satu
pendapatnya), Al-Auza’i, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan mayoritas ulama fiqh
cenderung memahami kata المحيض
dengan arti haid. Dengan demikian mereka menetapkan hukum bagi suami
untuk menjauhi istrinya di saat haid. Hanya mereka membolehkan menggauli istri
apa-apa yang di luar batas antara lutut dan pusat. Pendapat ini beralasan pada
hadits Nabi Saw bahwa suatu ketika Nabi Saw ditanya oleh paman Hakim bin Hizam
yang bernama Abdullah bin Sa’ad:
مَايَحِلُّ لِىْ مِنِ امْرَئَتِىْ وَهِيَ حَائِضٌ؟ قَالَ
لَكَ مَا فَوْقَ اْلإِزَارِ
Artinya: “Apa
yang halal bagiku terhadap istriku yang sedang haid? Nabi Saw menjawab: “Apa
saja yang di luar kain atau sarung”.
Imam Syafi’i (dalam salah satu pendapatnya yang
lebih shahih) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan المحيض adalah tempatnya haid
yakni farj atau kemaluan. Jadi yang harus dijauhi
oleh suami terhadap isterinya yang sedang haid itu hanyalah tempat haid atau
kemaluannya itu saja. Selebihnya boleh. Pendapat ini didukung oleh beberapa
ulama, di antaranya adalah Al-Tsauri, Muhammad bin al-Hasan dan Dawud. Mereka
beralasan pada hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:
إِنَّ الْيَهُوْدَ
كَانُوْا إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ مِنْهُمْ لَمْ يُوَاكِلُوْهَا وَلَمْ يُجَامِعُوْهَافِى
الْبُيُوْتِ. فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِىِّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ
الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُو ا النَّساَءَ فِى
الْمَحِيْضِ وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ.
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِصْنَعُوْا كُلَّ
شَيْئٍ إِلاَّ النِّكَاحُ وَفِىْ لَفْظٍ إِلاَّ الْجِمَاعُ.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang Yahudi itu apabila
isteri-isterinya sedang haid, mereka tidak memberikan kepercayaan atau tidak
berkumpul dengan mereka dalam satu rumah. Sahabat bertanya kepada Nabi Saw
tentang hal itu lalu Allah menurunkan ayat: “Mereka bertanya kepadamu
tentang المحيض , katakanlah bahwa dia (المحيض)
itu kotor (penyakit). Karena itu maka jauhilah wanita pada المحيض .
Janganlah kalian mendekatinya hingga mereka dalam keadaan suci”. Setelah itu
Rasulullah Saw bersabda: “Kalian boleh melakukan apa saja terhadap istrimu yang
sedang haid, kecuali bersetubuh”.
Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, Al-Fakhr
al-Razi mengatakan bahwa banyak dari kalangan sastrawan yang menduga bahwa yang
dimaksud dengan kata المحيض
pada ayat di atas adalah haid. Menurut al-Razi, pemahaman tersebut tidak
tepat. Yang tepat arti kata المحيض
adalah tempat haid yakni kemaluan. Jika yang dimaksud dengan kata المحيض itu adalah haid maka
berlaku larangan bagi suami mendekati istrinya sewaktu sedang haid. Tetapi jika
kata المحيض diartikan dengan tempat
haid atau kemaluan maka yang harus dijauhi oleh suami ketika istrinya sedang
haid adalah farj atau kemaluannya saja, selebihnya boleh.
Jika kita menerima bahwa kata المحيض mengandung arti ganda
yakni dalam arti mashdar dan isim makan, maka dengan
pengertian isim makan yakni tempatnya haid atau farj
lebih populer ketimbang dalam arti mashdar.
5. Ta’arudl al-Adillah; (تعارض الادلة)
Di antara sebab-sebab munculnya perbedaan
pendapat di kalangan ahli fiqh adalah “ta’arudl al-Adillah” yakni adanya
dalil-dalil yang nampaknya saling bertentangan antara satu dalil dengan dalil
yang lain. Sebenarnya tidak ada dalil-dalil yang saling bertentangan antara
satu dengan yang lain, karena pada dasarnya semua dalil itu datangnya dari satu
sumber yakni Allah Swt, apakah dari al-Qur’an maupun sunnah RasulNya.
Misalnya kasus tentang menyentuh dzakar (kemaluan) sesudah
wudu, apakah ia membatalkan wudu atau tidak?
Menurut ulama al-Syafi’iyah, al-Hanabilah,
Ishaq dan dari Malik yang lebih populer pendapatnya mengatakan bahwa menyentuh dzakar
itu dapat membatalkan wudu. Mereka ini mengambil
dalil dari hadits Nabi Saw riwayat Bisrah binti Shafwan bahwasanya Nabi saw
bersabda:
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ
فَلاَ يُصَلِّى حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Artunya: “Barangsiapa menyentuh dzakar-nya maka ia tidak boleh
melakukan shalat sebelum melakukan wudu”.
Dalam hadits
lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa
menyentuh dzakarnya tanpa alas penutup maka ia wajib melakukan wudu”.
Di antara
sahabat Nabi Saw yang berpendapat bahwa menyentuh dzakar itu mewajibkan
wudu adalah ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Umar, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah dan
Sa’ad bin Abiu Waqash.
Sedangkan Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya berpendapat bahwa menyentuh
dzakar itu tidak membatalkan wudu. Kelompok ini menggunakan dalil dari
hadits Thalq bin Ali:
أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يَمَسُّ الذَّكَرَ فِىْ الصَّلاَةِ
فَقَالَ:
هَلْ هُوَ بِضْعَةٌ مِنْكَ.
Artinya: “Bahwasanya
Nabi Saw pernah ditanya tentang orang yang menyentuh dzakarnya di waktu
shalat, maka Nabi Saw mengatakan bahwa dzakar itu adalah merupakan
bagian dari dirimu sendiri”.
Di antara kalangan sahabat Nabi Saw yang berpendapat bahwa menyentuh dzakar
itu tidak membatalkan wudu adalah ‘Ali, ‘Ammar dan Ibnu Mas’ud.
Karena dalil-dalil yang dipakai oleh kelompok satu dengan kelompok yang
lain nampak ada pertentangan maka tibullah perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum.
Masing-masing menganggap bahwa dalil yang dipakai itu lebih kuat. Karena itu
masing-masing bertahan pada pendapatnya. Kelompok pertama berpendapat bahwa
menyentuh dzakar itu membatalkan wudu. Sedangkan kelompok kedua
berpendapat bahwa menyentuh dzakar itu tidak membatalkan wudlu.
6. ‘Adamu
Wujudi al-Nash Fi al-Mas-alah; (عدم وجود النص فى المسألة)
Di antara penyebab munculnya perbedaan pendapat
di kalangan ahli fiqh adalah karena “Adamu Wujudi al-Nash Fi al-Mas-alah”,
tidak adanya dalil atau nash yang menerangkan tentang
seuatu masalah. Misalnya kasus orang banyak beramai-ramai membunuh
satu orang. Bagaimana hukumnya? Apakah semuanya dihukum bunuh atau cukup dengan
dikenai denda saja?
Kasus seperti ini tidak pernah terjadi pada zaman Nabi Saw, tetapi
pernah terjadi pada masa ‘Umar bin al-Khaththab ra. Pada waktu itu ‘Umar bin
al-Khaththab menetapkan hukuman bunuh bagi semua yang terlibat dalam pembunuhan
satu orang itu. ‘Umar berkata:
وَاللهِ لَوْ أَنَّ أَهْلَ صَنْعَاءَ إِشْتَرَكُوْا فِىْ
قَتْلِهِ لَقَتَلْتُهُمْ أَجْمَعِيْنَ
Artinya: “Demi Allah, kalau sekiranya seluruh penduduk Shan’a
bekerja sama dalam membunuh satu orang, maka aku akan membunuh seluruhnya”.
Di antara para sahabat yang setuju dengan keputusan ‘Umar ini adalah
‘Ali, al-Mughirah bin Syu’bah dan Ibnu ‘Abbas. Sedangkan di kalangan tabi’in
antara lain Sa’id bin al-Musayyab, al-Hasan, ‘Atha dan Qatadah. Dan ini juga
dianut oleh madzhab Malik, al-Tasuri, al-Auza’i, al-Syafi’i, Ishaq, Abu
Tsaur dan para ashhab al- ra’yi.
Adapun yang menentang pendapat ‘Umar tersebut di
kalangan sahabat adalah Ibnu al-Zubair. Ia hanya menetapkan dengan hukuman diat
atau denda. Ini juga merupakan pendapat al-Zuhri, Ibnu Sirin, Dawud, Ibnu
al-Mundzir dan ini juga menjadi pendapat Ahmad.
Terjadinya perbedaan pendapat tentang hukuman terhadap orang banyak yang
melakukan pembunuhan terhadap satu orang ini dikarenakan memang tidak ada dalil
dari Nabi Saw yang menerangkannya. Karena itu masing-masing berijtihad untuk
menetapkan hukum berdasarkan ruh al-tasyri’.
Bolehkah
Khilafiah Terjadi?
Ada banyak dalil yang memastikan bahwa
khilafiah di antara para ulama itu boleh terjadi, bahkan sebuah keniscayaan. Dasarnya antara lain:
1.
Para Shahabat Mengalami
Khilafiah
Peristiwa perang Bani Quraidhah adalah contoh yang amat nyata tentang
bagaimana para shahabat nabi berbeda pandangan dalam menafsirkan perintah
Rasulullah SAW. Selain itu juga ada kisah tentang perbedaan penafsiran para petani
kurma di Madinah tentang 'larangan' Rasulullah SAW untuk melakukan penyebukan.
Juga ada kisah tentang para shahabat yang berbeda pendapat dalam menetapkan
arah kiblat, sehingga ada yang shalat menghadap ke Barat, Timur, Utara dan
Selatan.
Namun perbedaan itu bukan perpecahan, mereka tetap bershahabat dan
saling mengasihi antara sesamanya.
2.
Para Nabi Mengalami
Khilafiah
Nabi Musa dan Nabi Khidhir 'alaihimassalam pernah berbeda
pendapat dalam melakukan perjalanan. Cerita lengkapnya bisa kita baca di dalam
surat Al-Kafhi. Nabi Musa dan kakaknya, Nabi Harun 'alaihimassalam, bahkan
sempat bentrok dan tarik-tarikan rambut, untuk urusan yang mereka
perselisihkan.
Keputusan hukum Nabi Daud pernah 'diralat' oleh anaknya sendiri, Nabi
Sulaiman 'alaihissalam dalam sengketa yang menyangkut hukum dalam perkara
rakyat negeri mereka.
Namun para nabi adalah satu kesatuan mata rantai sebagai penyampai
risalah dari Allah kepada umat manusia. Perbedaan pendapat itu bukan
perpecahan, apalagi permusuhan.
3.
Para Malaikat Mengalami
Khilafah
Dalam kisah taubatnya pembunuh 100 nyawa yang meninggal di tengah jalan
menuju jalan taubat, dua malaikat saling berbeda pendapat. Yang satu malaikat
rahman yang ingin memasukkannya ke surga. Sedang yang satunya malaikat adzab
yang ingin memasukkannya ke neraka.
Ya Subhanallah, bahkan malaikat yang tidak
punya emosi sekalipun, juga mengalami khilafiah dalam memutuskan perkara.
Maka bisa kita simpulkan bahwa khilafiah atau
beda pendapat adalah hal yang lumrah, terjadi pada siapa saja, termasuk para
sahabat, para nabi dan bahkan para malaikat.
Khilafiah yang terjadi di kalangan ulama adalah
hak preogratif mereka, tidak ada hak dan wewenang kita yang awam dan bukan ahli
hukum ini ikut-ikutan meributkan khilafiah di antara mereka.
Bukan karena kita tidak boleh melakukan upaya
ijtihad seperti mereka, juga bukan karena pintu ijtihad telah tertutup, namun
karena persoalan kapasitas keilmuwan.
Tentu sangat kurang pantas ketika para ulama ahli di tingkat elit masih
berbeda pendapat, ternyata kita yang ada di level grassroot juga ikut-ikutan
saling meributkannya.
Yang Diharamkan Adalah Perpecahan dan Saling Memerangi
Yang diharamkan adalah perpecahan, bukan perbedaan cara pandang.
Bentuk-bentuk perpecahan yang diharamkan misalnya:
- Mencaci maki orang yang pendapatnya tidak sama dengan pendapat dirinya. Baik dengan tuduhan ahli bid'ah, pelaku kemusyrikan atau gelar-gelar lain yang tidak layak.
- Memutuskan tali silaturrahim dengan orang yang dianggap pendapatnya tidak sama.
- Membuat kampanye fitnah serta menghujat saudaranya di muka umum, padahal akar masalahnya hanya beda pendapat yang telah terjadi sejak zaman shahabat
- Menyakiti bahkan melukai perasaan saudaranya, dengan beragama cara.
- Cara yang paling buruk adalah dengan menyakiti secara pisik bahkan melakukan pembunuhan, seperti tragedi fitnah besar antara sunnah syiah.
KESIMPULAN
Khilafiah/ikhtilaf
itu sendiri diambil dari bahasa Arab yang berarti berselisih, tidak sepaham.
Sedangkan secara terminologis, khilafiyah adalah perselisihan paham atau pendapat
dikalangan para ulama fiqh sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan dan
menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu.
Dalil atau sumber hukum islam itu terbagi pada dua
macam, yaitu dalil yang bersifat naqli ( yang berasal dari nash al-Qur’an dan
as-Sunnah, dan yang kedua adalah dalil-dalil yang bukan berasal dari nash yang
disebut dalil-dalil aqli atau ijtihadi berasal dari dalil-dalil akal dan
merupakan penalaran dan pemahaman dari para mujtahid).
Sebab terjadinya perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam suatu
hukum sendiri di antaranya sebagai berikut :
1.
Ikhtilaf al-Qira-at; ( اختلاف القراءات)
2.
‘Adam al-Iththila’ ‘ala al-Hadits; (عدم الا طلاع على الحديث)
3.
Al-Syakk Fi Tsubut al-Hadits; (الشك فى ثبوت الحديث)
4.
Al-Isytirak Fi
al-Ma’na; (الاشتراك فى المعنى)
5.
Ta’arudl al-Adillah; (تعارض الادلة)
6.
‘Adamu Wujudi al-Nash
Fi al-Mas-alah; (عدم وجود النص فى
المسألة)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar