Sabtu, 25 Maret 2017

KHILAFIAH




PENDAHULUAN
Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Di antara masalah khilafiah tersebut ada yang menyelesaikannya dengan cara yang sangat sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarkan akal sehat. Akan tetapi dibalik itu, masalah khilafiah menjadi ganjalan untuk menjalin kehanhonisan di kalangan umat Islam karena sifat ta'asyubiyah (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal yang sehat. Perbedaan pendapat (masalah khilafiah dalam fiqh), dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi saw., dalam haditsnya:       إخْتِلافُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ
Artinya:
"Perbedaan pendapat (di kalangan) uinatku adalah rahmat."
Hadits ini dapat diambil kesimpulan, bahwa orang itu bisa bebas memilih salah satu pendapat dari beberapa pendapat, tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.




ISI
PENGERTIAN
Khilafiah  adalah perbedaan dalam memandang suatu masalah, lebih tepatnya dalam mengambil kesimpulan hukum dari dalil-dalil Quran dan Sunnah.

SEBAB-SEBAB TIMBULNYA KHILAFIAH

Ada beberapa sebab yang mengakibatkan munculnya perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh, di antaranya adalah sebagai berikut:

1.      Ikhtilaf al-Qira-at; ( اختلاف القراءات)
Ikhtilaf al-Qira-at  adalah perbedaan dalam cara membaca nash al-Qur’an. Sebagai contoh pada bacaan ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang cara berwudu, khususnya dalam membasuh kaki; apakah kaki itu wajib dibasuh atau cukup diusap saja. Adanya perbedaan hukum mengenai wajib tidaknya membasuh kaki ini disebabkan adanya perbedaan dalam membaca nash al-Qur’an berikut ini:

يَاأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَ ةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُئُووْسِكُمْ وَأَرْجُلكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Ulama berbeda pendapat dalam membaca nash ayat tersebut, khususnya pada kata                  وأرجلكم” .
Imam Nafi’, Ibnu ‘Amir dan al-Kisa-i membaca kata وأرجلكم dengan me-nashab-kan, yakni وَأَرْجُلَكُمْ . Bacaan ini mengandung konsekwensi hukum wajibnya membasuh kedua kaki pada saat wudlu, karena menjadi ‘athaf (mengikut) pada perintah membasuh muka dan kedua tangan.
Sedangkan Ibnu Katsir, Abu ‘Amr dan Hamzah membaca kata وأرجلكم dengan men-jarr-kan, yakni وَأَرْجُلِكُمْ . Bacaan ini mengandung konsekwensi hukum wajibnya mengusap kaki ketika melakukan wudu, karena menjadi ‘athaf (mengikuti) pada perintah mengusap kepala.
Dengan adanya perbedaan bacaan terhadap nash tersebut, khususnya pada kata وأرجلكم   maka mengakibatkan perbedaan hukum dalam berwudu. Yang pertama berpendapat bahwa kaki itu wajib dibasuh, sedangkan yang kedua berpendapat bahwa kaki itu wajib diusap saja.
Tentang ini, mayoritas ulama lebih cenderung pada pendapat yang pertama, yakni wajib membasuh kaki ketika melakukan wudu.

2.      ‘Adam al-Iththila’ ‘ala al-Hadits; (عدم الا طلاع على الحديث)
Yang dimaksud dengan ‘Adam al-Iththila’ ‘ala al-Hadits adalah tidak mendapatkan suatu hadits dalam masalah hukum tertentu.  Hal ini terjadi karena tingkat pengetahuan para sahabat Nabi berbeda-beda. Ada yang banyak menguasai hadits atau sunnah Nabi, ada juga yang hanya sedikit saja. Di samping itu adakalanya, ketika Nabi sedang menyampaikan keterangan tentang sesuatu hukum, sebagian sahabat tidak hadir, sehingga tidak mengetahui tentang hukum suatu masalah. Akibat tidak seragamnya pengetahuan sahabat Nabi tentang hadits itu menyebabkan mereka berbeda dalam menetapkan suatu hukum.
Sebagai contoh, pada suatu ketika seorang sahabat Nabi Saw yang bernama Abu Bakr (sahabat kecil) mendengar Abu Hurairah berkata: 
مَنْ أَدْرَكَهُ الْفَجْرُ جُنُباً فَلاَ يَصُمْ
Artinya:“Barangsiapa masuk waktu subuh masih dalam keadaan junub, maka puasanya tidak sah”.
Ketika mendengar ucapan Abu Hurairah seperti itu maka oleh Abu Bakr kemudian dikonfirmasikan kepada ayahnya ( Abd al-Rahman bin al-Harits), lalu ayahnya itu tidak membenarkan apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah itu. Selanjutnya kedua orang itu datang kepada ‘Aisyah ra. dan Ummu Salamah ra. dan menanyakan persoalan tadi kepada keduanya. Lalu ‘Aisyah dan Ummu Salamah menjelaskan bahwa:  
كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُباً مِنْ غَيْرِ حِلْمٍ ثُمَّ يَصُوْمُ
Artinya: “Nabi Saw pernah di pagi hari masih dalam keadaan junub, tetapi ia tetap melanjutkan puasanya”.
Setelah itu Abu Bakr dan Abd al-Rahman bin al-Harits datang kepada Marwan dan menceritakan masalah tersebut. Lalu mereka mendatangi Abu Hurairah dan menjelaskan tentang keadaan Nabi Saw yang bertentangan dengan perkataannya tadi. Abu Hurairah bertanya: “Apakah Aisyah ra. dan Ummu Salamah ra. berkata begitu?”. Mereka menjawab, ya! Abu Hurairah berkata: “Mereka berdua tentu lebih tahu”! Setelah itu Abu Hurairah merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh kedua istri Nabi tersebut.
Terjadinya perbedaan pendapat mengenai sah tidaknya puasa bagi orang yang junub hingga pagi hari tersebut disebabkan oleh karena tidak mendapatkannya informasi mengenai hadits dari Nabi Saw. Abu Hurairah sempat menganggap batal puasanya bagi orang yang junub hingga pagi hari, karena ia tidak mendapatkan hadits yang menerangkan tentang keabsahannya. Tetapi setelah ia mendengar ada hadits tersebut dari Aisyah dan Ummu salamah, akhirnya ia menerima pendapat yang mengatakan tetap sahnya puasa bagi orang yang junub hingga pagi hari.

3.      Al-Syakk Fi Tsubut al-Hadits; (الشك فى ثبوت الحديث)
Yang dimaksud dengan Al-Syakk Fi Tsubut al-Hadits adalah keraguan terhadap keberadaan sebuah hadits. Hal ini menjadi bagian dari sikap kehati-hatian para sahabat dan ulama berikutnya dalam menerima hadits Nabi Saw. Mereka, para sahabat itu, tidak buru-buru mengamalkan suatu hukum sebelum jelas benar bahwa memang ada hadits dari Nabi yang menerangkannya. Jika tidak yakin terhadap keberadaan hadits maka mereka memilih tawaqquf atau diam yakni tidak mau mengamalkan sesuatu amalan yang tidak jelas dasarnya.
Sebagai contoh kasus tentang orang yang makan atau minum di saat puasa karena kelupaan. Tentang ini, mayoritas ulama ahli fiqh berpendapat bahwa apabila ada orang yang lupa makan dan minum di saat puasa Ramadlan maka ia tidak berkewajiban mengqadlanya atau membayar denda. Para ulama ini berpendapat berdasarkan hadits dari Abu Hurairah ra. Ia berkata:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَسِىَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْشَرِبَ
فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
Artinya: “Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa lupa makan atau minum pada saat ia dalam keadaan berpuasa maka hendaklah ia melanjutkan puasanya, karena sesungguhnya Allahlah yang telah memberikannya makan dan minum”.
Tentang ini Imam Malik berbeda pendapat. Menurutnya, orang yang sedang berpuasa kemudian ia makan karena lupa maka batallah puasanya dan ia wajib mengqadlanya. Dalam pandangan Malik, berbuka itu adalah lawan dari berpuasa. Menahan makan dan minum adalah merupakan rukun puasa. Ia menyamakan dengan orang yang lupa jumlah rakaat dalam shalat.Karena itu jika ia lupa makan pada saat berpuasa, maka ia wajib mengqadlanya, karena mencegah makan pada saat puasa itu termasuk rukun puasa yang harus dijaga.
Tentang hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tersebut, Imam Malik meragukannya. Ia tidak mendapatkan hadits itu. Kalaulah ada hadits seperti itu, statusnya sebagai khabar wahid, tidak populer. Kalau ada hadits yang tidak populer kemudian bertentangan dengan kaidah-kaidah yang berlaku, maka ia tidak mau mengamalkannya.
Akibat dari keberadaan hadits yang diragukan tersebut, muncullah perbedaan pendapat. Bagi yang meyakini keberadaan hadits tersebut, sebagaimana yang diyakini oleh mayoritas ulama, mereka menetapkan bahwa orang yang lupa makan dan minum  ketika sedang berpuasa, tidak membatalkan puasanya dan ia tidak berkewajiban mengqadlanya. Tetapi bagi mereka yang meragukan akan keberadaan hadits tersebut, seperti Imam Malik maka ia berketetapan bahwa orang yang berpuasa lalu lupa kemudian makan maka puasanya dianggap batal.

4.      Al-Isytirak Fi al-Ma’na; (الاشتراك فى المعنى)
Satu kata yang mempunyai makna dua atau lebih, dalam bahasa Arab disebut lafadh musytarak. Dalam al-Qur’an , terkadang Allah   menggunakan kata-kata yang mengandung makna ganda atau yang disebut dengan “Al-Isytirak Fi al-Ma’na”. Misalnya firman Allah Swt.:

وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُو ا النَّساَءَ فِى الْمَحِيْضِ  
وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang  المحيض , katakanlah bahwa dia (المحيض) itu kotor (penyakit). Karena itu maka jauhilah wanita pada المحيض . Janganlah kalian mendekatinya hingga mereka dalam keadaan suci”.

Dalam bentuk mashdar, kata المحيض berarti haid. Sedangkan sebagai isim makan, المحيض berarti tempat haid yakni farj atau kemaluan. Dari sini kata المحيض jelas menunjukkan arti ganda.
Ulama fiqh dalam memahami ayat tersebut agaknya berbeda-beda. Ada yang memahami dengan haid dan ada pula yang memahami dengan tempat haid. Hal ini  tentu berpengaruh pada penetapan hukum.
Imam Malik, Syafi’i (dalam salah satu pendapatnya), Al-Auza’i, Abu Hanifah, Abu Yusuf  dan mayoritas ulama fiqh cenderung memahami kata المحيض dengan arti haid. Dengan demikian mereka menetapkan hukum bagi suami untuk menjauhi istrinya di saat haid. Hanya mereka membolehkan menggauli istri apa-apa yang di luar batas antara lutut dan pusat. Pendapat ini beralasan pada hadits Nabi Saw bahwa suatu ketika Nabi Saw ditanya oleh paman Hakim bin Hizam yang bernama Abdullah bin Sa’ad:
مَايَحِلُّ لِىْ مِنِ امْرَئَتِىْ وَهِيَ حَائِضٌ؟ قَالَ لَكَ مَا فَوْقَ اْلإِزَارِ
 Artinya:  “Apa yang halal bagiku terhadap istriku yang sedang haid? Nabi Saw menjawab: “Apa saja yang di luar kain atau sarung”.

Imam Syafi’i (dalam salah satu pendapatnya yang lebih shahih) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan  المحيض adalah tempatnya haid yakni farj atau kemaluan. Jadi yang harus dijauhi oleh suami terhadap isterinya yang sedang haid itu hanyalah tempat haid atau kemaluannya itu saja. Selebihnya boleh. Pendapat ini didukung oleh beberapa ulama, di antaranya adalah Al-Tsauri, Muhammad bin al-Hasan dan Dawud. Mereka beralasan pada hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:

إِنَّ الْيَهُوْدَ كَانُوْا إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ مِنْهُمْ لَمْ يُوَاكِلُوْهَا وَلَمْ يُجَامِعُوْهَافِى الْبُيُوْتِ. فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِىِّ  النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُو ا النَّساَءَ فِى الْمَحِيْضِ  وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ. فَقَالَ  رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْئٍ إِلاَّ النِّكَاحُ وَفِىْ لَفْظٍ إِلاَّ الْجِمَاعُ.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang Yahudi itu apabila isteri-isterinya sedang haid, mereka tidak memberikan kepercayaan atau tidak berkumpul dengan mereka dalam satu rumah. Sahabat bertanya kepada Nabi Saw tentang hal itu lalu Allah menurunkan ayat: “Mereka bertanya kepadamu tentang  المحيض , katakanlah bahwa dia (المحيض)  itu kotor (penyakit). Karena itu maka jauhilah wanita pada المحيض . Janganlah kalian mendekatinya hingga mereka dalam keadaan suci”. Setelah itu Rasulullah Saw bersabda: “Kalian boleh melakukan apa saja terhadap istrimu yang sedang haid, kecuali bersetubuh”.

Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, Al-Fakhr al-Razi mengatakan bahwa banyak dari kalangan sastrawan yang menduga bahwa yang dimaksud dengan kata المحيض pada ayat di atas adalah haid. Menurut al-Razi,  pemahaman tersebut tidak tepat. Yang tepat arti kata المحيض adalah tempat haid yakni kemaluan. Jika yang dimaksud dengan kata المحيض itu adalah haid maka berlaku larangan bagi suami mendekati istrinya sewaktu sedang haid. Tetapi jika kata المحيض diartikan dengan tempat haid atau kemaluan maka yang harus dijauhi oleh suami ketika istrinya sedang haid adalah farj atau kemaluannya saja, selebihnya boleh.
Jika kita menerima bahwa kata المحيض mengandung arti ganda yakni dalam arti mashdar dan isim makan, maka dengan pengertian   isim makan yakni tempatnya haid atau farj lebih populer ketimbang dalam arti mashdar.


5.      Ta’arudl al-Adillah; (تعارض الادلة)
Di antara sebab-sebab munculnya perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh adalah “ta’arudl al-Adillah” yakni adanya dalil-dalil yang nampaknya saling bertentangan antara satu dalil dengan dalil yang lain. Sebenarnya tidak ada dalil-dalil yang saling bertentangan antara satu dengan yang lain, karena pada dasarnya semua dalil itu datangnya dari satu sumber yakni Allah Swt, apakah dari al-Qur’an maupun sunnah RasulNya.
Misalnya kasus tentang  menyentuh dzakar (kemaluan) sesudah wudu, apakah ia membatalkan wudu atau tidak?
Menurut ulama al-Syafi’iyah, al-Hanabilah, Ishaq dan dari Malik yang lebih populer pendapatnya mengatakan bahwa menyentuh dzakar itu dapat membatalkan wudu. Mereka ini mengambil dalil dari hadits Nabi Saw riwayat Bisrah binti Shafwan bahwasanya Nabi saw bersabda:
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلاَ يُصَلِّى حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Artunya:  “Barangsiapa menyentuh dzakar-nya maka ia tidak boleh melakukan shalat sebelum melakukan wudu”.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa menyentuh dzakarnya tanpa alas penutup maka ia wajib melakukan wudu”.
Di antara sahabat Nabi Saw yang berpendapat bahwa menyentuh dzakar itu mewajibkan wudu adalah ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Umar, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah dan Sa’ad bin Abiu Waqash.
Sedangkan Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya berpendapat bahwa menyentuh dzakar itu tidak membatalkan wudu. Kelompok ini menggunakan dalil dari hadits Thalq bin Ali:
أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يَمَسُّ الذَّكَرَ فِىْ الصَّلاَةِ
 فَقَالَ: هَلْ هُوَ بِضْعَةٌ مِنْكَ.
Artinya: “Bahwasanya Nabi Saw pernah ditanya tentang orang yang menyentuh dzakarnya di waktu shalat, maka Nabi Saw mengatakan bahwa dzakar itu adalah merupakan bagian dari dirimu sendiri”.

Di antara kalangan sahabat Nabi Saw yang berpendapat bahwa menyentuh dzakar itu tidak membatalkan wudu adalah ‘Ali, ‘Ammar dan Ibnu Mas’ud.
Karena dalil-dalil yang dipakai oleh kelompok satu dengan kelompok yang lain nampak ada pertentangan maka tibullah perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum. Masing-masing menganggap bahwa dalil yang dipakai itu lebih kuat. Karena itu masing-masing bertahan pada pendapatnya. Kelompok pertama berpendapat bahwa menyentuh dzakar itu membatalkan wudu. Sedangkan kelompok kedua berpendapat bahwa menyentuh dzakar itu tidak membatalkan wudlu.


6.       ‘Adamu Wujudi al-Nash Fi al-Mas-alah; (عدم وجود النص فى المسألة)
Di antara penyebab munculnya perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh adalah karena “Adamu Wujudi al-Nash Fi al-Mas-alah”,  tidak adanya dalil atau nash yang menerangkan tentang seuatu masalah. Misalnya kasus orang banyak beramai-ramai membunuh satu orang. Bagaimana hukumnya? Apakah semuanya dihukum bunuh atau cukup dengan dikenai denda saja?
Kasus seperti ini tidak pernah terjadi pada zaman Nabi Saw, tetapi pernah terjadi pada masa ‘Umar bin al-Khaththab ra. Pada waktu itu ‘Umar bin al-Khaththab menetapkan hukuman bunuh bagi semua yang terlibat dalam pembunuhan satu orang itu. ‘Umar berkata:
وَاللهِ لَوْ أَنَّ أَهْلَ صَنْعَاءَ إِشْتَرَكُوْا فِىْ قَتْلِهِ لَقَتَلْتُهُمْ أَجْمَعِيْنَ
Artinya:  “Demi Allah, kalau sekiranya seluruh penduduk Shan’a bekerja sama dalam membunuh satu orang, maka aku akan membunuh seluruhnya”.
            Di antara para sahabat yang setuju dengan keputusan ‘Umar ini adalah ‘Ali, al-Mughirah bin Syu’bah dan Ibnu ‘Abbas. Sedangkan di kalangan tabi’in antara lain Sa’id bin al-Musayyab, al-Hasan, ‘Atha dan Qatadah. Dan ini juga dianut oleh madzhab Malik, al-Tasuri, al-Auza’i, al-Syafi’i, Ishaq,  Abu Tsaur dan para ashhab al- ra’yi.
Adapun yang menentang pendapat ‘Umar tersebut di kalangan sahabat adalah Ibnu al-Zubair. Ia hanya menetapkan dengan hukuman diat atau denda. Ini juga merupakan pendapat al-Zuhri, Ibnu Sirin, Dawud, Ibnu al-Mundzir dan ini juga  menjadi pendapat Ahmad.
Terjadinya perbedaan pendapat tentang hukuman terhadap orang banyak yang melakukan pembunuhan terhadap satu orang ini dikarenakan memang tidak ada dalil dari Nabi Saw yang menerangkannya. Karena itu masing-masing berijtihad untuk menetapkan hukum  berdasarkan ruh al-tasyri’.

Bolehkah Khilafiah Terjadi?
Ada banyak dalil yang memastikan bahwa khilafiah di antara para ulama itu boleh terjadi, bahkan sebuah keniscayaan. Dasarnya antara lain:

1.      Para Shahabat Mengalami Khilafiah
Peristiwa perang Bani Quraidhah adalah contoh yang amat nyata tentang bagaimana para shahabat nabi berbeda pandangan dalam menafsirkan perintah Rasulullah SAW. Selain itu juga ada kisah tentang perbedaan penafsiran para petani kurma di Madinah tentang 'larangan' Rasulullah SAW untuk melakukan penyebukan. Juga ada kisah tentang para shahabat yang berbeda pendapat dalam menetapkan arah kiblat, sehingga ada yang shalat menghadap ke Barat, Timur, Utara dan Selatan.
Namun perbedaan itu bukan perpecahan, mereka tetap bershahabat dan saling mengasihi antara sesamanya.

2.      Para Nabi Mengalami Khilafiah
Nabi Musa dan Nabi Khidhir 'alaihimassalam pernah berbeda pendapat dalam melakukan perjalanan. Cerita lengkapnya bisa kita baca di dalam surat Al-Kafhi. Nabi Musa dan kakaknya, Nabi Harun 'alaihimassalam, bahkan sempat bentrok dan tarik-tarikan rambut, untuk urusan yang mereka perselisihkan.
Keputusan hukum Nabi Daud pernah 'diralat' oleh anaknya sendiri, Nabi Sulaiman 'alaihissalam dalam sengketa yang menyangkut hukum dalam perkara rakyat negeri mereka.
Namun para nabi adalah satu kesatuan mata rantai sebagai penyampai risalah dari Allah kepada umat manusia. Perbedaan pendapat itu bukan perpecahan, apalagi permusuhan.

3.      Para Malaikat Mengalami Khilafah
Dalam kisah taubatnya pembunuh 100 nyawa yang meninggal di tengah jalan menuju jalan taubat, dua malaikat saling berbeda pendapat. Yang satu malaikat rahman yang ingin memasukkannya ke surga. Sedang yang satunya malaikat adzab yang ingin memasukkannya ke neraka.
Ya Subhanallah, bahkan malaikat yang tidak punya emosi sekalipun, juga mengalami khilafiah dalam memutuskan perkara.
Maka bisa kita simpulkan bahwa khilafiah atau beda pendapat adalah hal yang lumrah, terjadi pada siapa saja, termasuk para sahabat, para nabi dan bahkan para malaikat.
Khilafiah yang terjadi di kalangan ulama adalah hak preogratif mereka, tidak ada hak dan wewenang kita yang awam dan bukan ahli hukum ini ikut-ikutan meributkan khilafiah di antara mereka.
Bukan karena kita tidak boleh melakukan upaya ijtihad seperti mereka, juga bukan karena pintu ijtihad telah tertutup, namun karena persoalan kapasitas keilmuwan.
Tentu sangat kurang pantas ketika para ulama ahli di tingkat elit masih berbeda pendapat, ternyata kita yang ada di level grassroot juga ikut-ikutan saling meributkannya.

Yang Diharamkan Adalah Perpecahan dan Saling Memerangi
Yang diharamkan adalah perpecahan, bukan perbedaan cara pandang. Bentuk-bentuk perpecahan yang diharamkan misalnya:
  1. Mencaci maki orang yang pendapatnya tidak sama dengan pendapat dirinya. Baik dengan tuduhan ahli bid'ah, pelaku kemusyrikan atau gelar-gelar lain yang tidak layak.
  2. Memutuskan tali silaturrahim dengan orang yang dianggap pendapatnya tidak sama.
  3. Membuat kampanye fitnah serta menghujat saudaranya di muka umum, padahal akar masalahnya hanya beda pendapat yang telah terjadi sejak zaman shahabat
  4. Menyakiti bahkan melukai perasaan saudaranya, dengan beragama cara.
  5. Cara yang paling buruk adalah dengan menyakiti secara pisik bahkan melakukan pembunuhan, seperti tragedi fitnah besar antara sunnah syiah.

KESIMPULAN

Khilafiah/ikhtilaf itu sendiri diambil dari bahasa Arab yang berarti berselisih, tidak sepaham. Sedangkan secara terminologis, khilafiyah adalah perselisihan paham atau pendapat dikalangan para ulama fiqh sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan suatu ketentuan hukum tertentu.
Dalil atau sumber hukum islam itu terbagi pada dua macam, yaitu dalil yang bersifat naqli ( yang berasal dari nash al-Qur’an dan as-Sunnah, dan yang kedua adalah dalil-dalil yang bukan berasal dari nash yang disebut dalil-dalil aqli atau ijtihadi berasal dari dalil-dalil akal dan merupakan penalaran dan pemahaman dari para mujtahid).
Sebab terjadinya perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam suatu hukum sendiri di antaranya sebagai berikut :
1.      Ikhtilaf al-Qira-at; ( اختلاف القراءات)
2.      ‘Adam al-Iththila’ ‘ala al-Hadits; (عدم الا طلاع على الحديث)
3.      Al-Syakk Fi Tsubut al-Hadits; (الشك فى ثبوت الحديث)
4.      Al-Isytirak Fi al-Ma’na; (الاشتراك فى المعنى)
5.      Ta’arudl al-Adillah; (تعارض الادلة)
6.      ‘Adamu Wujudi al-Nash Fi al-Mas-alah; (عدم وجود النص فى المسألة)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar