Rabu, 08 Maret 2017

makan malam nasi berkabung



“Besok kamu gak dapet uang saku lagi” kata ibu.
Saat kondisi keuangan kami terpuruk, bapak yang sedang sakit dan tak dapat pergi bekerja, uang belanja yang kian menipis dan aku yang harus membayar tunggakan kuliah agar dapat mengikuti ujian semester.
“cobalah, kamu berdoa biar bapakmu sembuh” terus ibu.
kata – kata yang membuatku tersentak. Dan ya, aku ingat akhir – akhir ini aku memang makin jauh dari tuhan, satu – satunya tempat seharusnya aku bersandar. Kemudian aku ingat kisah pelacur ateis yang berada diatas kapal di tengah badai, saat itu ia –seorang pelacur ateis– berdoa. Karena kita semua perlu sandaran.
Tapi didalam kalimat “cobalah, kamu berdoa biar bapakmu sembuh” aku menangkap maksud lain. Makna – makna seperti “aku muak, jika harus mengurusnya sepanjang hidupku”. Atau “seharusnya aku cerai darinya sedari dulu”. Atau “jika tau begini lebih baik aku tak menerima pinangannya dulu”. Makna yang kusimpulkan dari kisah – kisah yang ibu dongengkan sebelum tidur, kisah masa silam dimana ia memiliki kekasih yang lebih berada ketimbang bapak, kisah dimana ia ‘merasa’ dibodohi oleh pelamar yang sekarang ini adalah bapak.
Aku juga teringat saat aku masih kecil dulu, tidur setelah sembahyang tengah hari dan bapak ibuku berbincang disampingku. Aku kecil yang sebenarnya tak terlelap harus mendengar “bagaimana jika tiba – tiba aku tak bisa menahan emosi, mengambil parang dan kemudian menghantamkannya padamu?”. Maka makna – makna itu muncul begitu saja.

Selepas sembahyang malam aku mengambil kitab kecil di antara banyak buku yang tersusun di rak. Mencoba mendekatkan diri kepada tuhan, dan merapalkan beberapa doa.

Setelahnya, aku yang tak punya makan malam pergi ke ruang depan, membawa laptop hasil hutang bapak ku dan mengerjakan beberapa tugas. Ditengah aku mengerjakan tugas, ibu datang membawa sepaket nasi kotak dari acara tetangga yang berkabung dan mengirim doa, meski keluarga kami tak ikut acara doa itu, kami tetap mendapat jatah. Syukurlah aku tinggal di desa, dengan segala gotong royongnya. Bayangkan jika aku terlahir di kota dan bahkan tak mengenal tetangga sendiri, pastilah aku tidur kelaparan malam ini.
Selain aku bisa makan malam ini, aku juga mendapat uang saku untuk besok. Tentu saja dari paket kotak nasi berkabung tadi.

Meskipun malam ini tunggakan kuliahku tak juga terlunasi dengan keajaiban, dan bapak ku tidak tiba – tiba sembuh dari penyakitnya. setidaknya aku sadar, tuhan maha mendengar, maha mengatahui dan tak pernah sekalipun tidur.
Itulah mengapa kita harus punya sandaran. Itulah mengapa bahkan seorang pelacur ateis pun berdoa menjelang ajalnya. Karena jika kita tak memilikinya, meski kita nampak cerdas, mampu tersenyum, namun jauh disana, hati kita merasa bingung. Tak tau arah mana yang dituju, kepada siapa harus mengadu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar