“Besok kamu gak dapet uang saku lagi” kata ibu.
Saat kondisi keuangan kami terpuruk, bapak yang sedang sakit dan tak
dapat pergi bekerja, uang belanja yang kian menipis dan aku yang harus membayar
tunggakan kuliah agar dapat mengikuti ujian semester.
“cobalah, kamu berdoa biar bapakmu sembuh” terus ibu.
kata – kata yang membuatku tersentak. Dan ya, aku ingat akhir – akhir
ini aku memang makin jauh dari tuhan, satu – satunya tempat seharusnya aku
bersandar. Kemudian aku ingat kisah pelacur ateis yang berada diatas kapal di
tengah badai, saat itu ia –seorang pelacur ateis– berdoa. Karena kita semua
perlu sandaran.
Tapi didalam kalimat “cobalah, kamu berdoa biar bapakmu sembuh”
aku menangkap maksud lain. Makna – makna seperti “aku muak, jika harus
mengurusnya sepanjang hidupku”. Atau “seharusnya aku cerai darinya
sedari dulu”. Atau “jika tau begini lebih baik aku tak menerima
pinangannya dulu”. Makna yang kusimpulkan dari kisah – kisah yang ibu
dongengkan sebelum tidur, kisah masa silam dimana ia memiliki kekasih yang
lebih berada ketimbang bapak, kisah dimana ia ‘merasa’ dibodohi oleh pelamar
yang sekarang ini adalah bapak.
Aku juga teringat saat aku masih kecil dulu, tidur setelah sembahyang
tengah hari dan bapak ibuku berbincang disampingku. Aku kecil yang sebenarnya
tak terlelap harus mendengar “bagaimana jika tiba – tiba aku tak bisa
menahan emosi, mengambil parang dan kemudian menghantamkannya padamu?”.
Maka makna – makna itu muncul begitu saja.
Selepas sembahyang malam aku mengambil kitab kecil di antara banyak
buku yang tersusun di rak. Mencoba mendekatkan diri kepada tuhan, dan
merapalkan beberapa doa.
Setelahnya, aku yang tak punya makan malam pergi ke ruang depan,
membawa laptop hasil hutang bapak ku dan mengerjakan beberapa tugas. Ditengah
aku mengerjakan tugas, ibu datang membawa sepaket nasi kotak dari acara
tetangga yang berkabung dan mengirim doa, meski keluarga kami tak ikut acara
doa itu, kami tetap mendapat jatah. Syukurlah aku tinggal di desa, dengan
segala gotong royongnya. Bayangkan jika aku terlahir di kota dan bahkan tak
mengenal tetangga sendiri, pastilah aku tidur kelaparan malam ini.
Selain aku bisa makan malam ini, aku juga mendapat uang saku untuk
besok. Tentu saja dari paket kotak nasi berkabung tadi.
Meskipun malam ini tunggakan kuliahku tak juga terlunasi dengan
keajaiban, dan bapak ku tidak tiba – tiba sembuh dari penyakitnya. setidaknya
aku sadar, tuhan maha mendengar, maha mengatahui dan tak pernah sekalipun
tidur.
Itulah mengapa kita harus punya sandaran. Itulah mengapa bahkan
seorang pelacur ateis pun berdoa menjelang ajalnya. Karena jika kita tak
memilikinya, meski kita nampak cerdas, mampu tersenyum, namun jauh disana, hati
kita merasa bingung. Tak tau arah mana yang dituju, kepada siapa harus mengadu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar