Selasa, 20 Maret 2018

Secangkir Kopi

“bagaimana bisa dia tiba-tiba saja muncul setelah menghilang selama delapan bulan? Dia itu psikopat atau apa? Syna dengarkan aku, aku sama sekali nggak rela kalo kamu balik sama dia. Ini nggak fair, dia hilang nggak ada kabar, ninggalin kamu gitu aja tanpa alasan, dia itu freak Na”
I know Tari, aku paham. Bahkan aku sendiri yang merasakan ini. Tapi Arian pasti punya alasan yang kuat untuk melakukan itu”
“apapun itu Syna, apapun itu! Dengan alasan apapun aku tak akan rela jika kamu bersamanya”
Ucapan Mentari ada benarnya, aku tak mungkin dan tak akan kembali pada Arian.
.......
.................
“Nathan, kamu tahu? Namamu tidak terlalu panjang tapi kenapa ejaannya sangat panjang? J-H-O-N-N-A-T-H-A-N itu sangat aneh. Seperti Sharlothe yang dieja S-H-A-R-L-O-T-H-E, itu terlalu panjang”
“astaga, apakah hal sekecil itu mengganggumu? Itulah kenapa aku tak pernah mengerti wanita. Mereka memperhatikan hal-hal kecil yang terkadang sangat konyol untuk dilakukan” jawab Nathan kesal. Kami berada di ketinggian lima puluh delapan kaki dari tanah didalam sebuah kabin yang saling terhubung dengan besi-besi dan baut-baut besar, seperti roda raksasa yang berputar di tempat. Malam ini terlalu indah jika hanya untuk duduk didalam kafe pinggir jalan, jadi kami memutuskan untuk membayar beberapa lembar uang dan naik bianglala ditepi sungai yang cukup ramai dikunjungi banyak pasangan di malam akhir pekan, seperti kami misalnya.
“jangan mengelak, kamu mengerti wanita dengan baik. Dan aku masih penasaran dengan beberapa hal”
“apalagi yang mengusikmu?”              
“kenapa kamu mengirim pos card ke kafe, dan kenapa kamu hanya mengirim di hari selasa?”
pos card itu, kamu baru menanyakannya setelah kita jadian empat bulan? Itu lebih membuatku bingung”
“sebelum ini aku hanya ingin menikmati waktu kita bersama. Itu saja”
“lalu kenapa sekarang menanyakannya?”
“entahlah, mungkin aku terkena lupa ingatan selama ini”
Nathan tertawa kecil
“kamu tidak akan menjelaskannnya?” tanyaku.
“aku tidak memiliki alasan untuk hal itu”
“maksudmu?”
“maksudku, aku hanya iseng. Aku hanya ingin membuatmu berkesan dengan mengirimnya setiap hari selasa dan jika kamu mengingatnya sampai sekarang akan kusimpulkan bahwa trik itu berhasil. Isn’t it?
ya, it works” timpalku. “tapi kenapa kamu mengirimnya ke kafe? Kenapa tidak ke rumah atau kampus? Dan kenapa tak ada seorangpun yang tahu ada pengirim pos card?”
“astaga, kamu banyak tanya, tapi pertanyaanmu terlalu mudah. Tidakkah kamu bisa menganalisanya sendiri?”
“perempuan memang banyak pertanyaan, dan tentunya menganalisa. Tapi seringnya pemikiran lelaki dan perempuan itu berbeda, dan kuharap jawabanmu kali ini tidak sekedar iseng”
“ah, aku hanya berfikir sederhana, seperti kebanyakan lelaki. Mereka tak ingin sebuah masalah menjadi rumit dan berbelit”
“jadi mengirim pos card adalah sebuah masalah?”
“bukan itu maksudku. Aku tidak berfikir akan mengirim pos card itu ke kampus, memangnya kamu ingin semua teman kita mengetahui hal itu? Aku tidak se-frontal itu. Aku juga tak ingin mengirimnya ke rumahmu karena aku tak ingin orang tuamu mengetahui segalanya sedangkan dirimu belum tentu menerimaku waktu itu”
“lalu, bagaimana bisa tak ada yang tau posman mengirim  pos card ke kafe?”
“kafe adalah tempat yang paling strategis, tak banyak teman atau keluargamu yang tau kehidupanmu disana, makanya aku memilih tempat itu. Dan untuk pengirimnya, aku sendirilah yang menjadi posman. Hampir setiap malam aku keluar untuk sekedar mencari angin, mengopi atau berdiskusi tentang berbagai hal dengan teman-temanku, jadi itu adalah hal yang mudah bagiku menyelipkan pos card ke kafe setiap selasa pukul satu atau dua malam. Sedangkan kafe hanya beroperasi dari pukul delapan sampai sebelas malam. Itu waktu yang cukup panjang untukku”
“pemikiran yang gila”
“bukan, itu pemikiran paling sederhana. Jika kamu diposisiku kamu tidak akan bisa memikirkan alasan lain. Dan semua yang kulakukan, secara teknis bisa membuatmu berkata ‘iya’ malam itu”
Selanjutnya kami berbincang tentang hal-hal kecil yang tak serius, seperti mobil yang melintas di jalan raya yang terlihat kecil dari ketinggian atau makanan di sebuah kafe di ujung jalan yang tak enak meski menunya selalu berubah setiap dua minggu.

........................
Ini sudah hampir senja, pengunjung kafe satu persatu beranjak. Biasanya kafe akan penuh dengan pengunjung lagi setelah pukul tujuh atau delapan malam. Jadi aku akan sedikit bersantai setelah kuselesaikan cucian piring dan cangkir-cangkir ini.
“Syna, ada orang yang mencarimu” ujar Rein dipintu. Dia salah seorang temanku, pegawai kafe ini juga tentunya.
“siapa?”
“entah, dia tampan. Jika kamu tak menemuinya, aku mau menggantikanmu”
Aku tersenyum kecil “tentu saja kamu mau, tapi aku mau kamu menggantikan tempatku disini, kamu keberatan?”
“ah kamu ini, aku meminta orang yang tampan, kamu memberiku piring kotor, apa itu sepadan?”
“baiklah, aku akan membuatkanmu cappuchino yang enak nanti”
“aku tidak yakin kamu bisa membuatnya”
“aku sudah belajar dari Hans” -barista nomor satu di kafe ini-
Aku pergi meninggalkannya sendiri dan melihat siapa yang mencariku.

“Arian? Apa yang kamu lakukan disini?” aku benar-benar tak menduga dia datang kesini.
“ada yang ingin aku bicarakan” ujarnya
“ikutlah denganku ke lantai atas” ucapku sambil bergegas menuju tangga, aku yakin dia mengikutiku.
Bangunan kafe ini tak cukup luas, jadi pemilik kafe membuat set di depan kafe, dan diatap. Konsep rooftop yang sederhana dengan beberapa payung besar yang tersambung langsung ke meja, kursi-kursi disekelilingnya dan bunga-bunga di tepian, dan satu kursi ayunan kayu di pojokan. Itu tempat favoritku, tapi aku tak membawa Arian ke tempat itu. Aku membawanya duduk di kursi-kursi yang lebih dekat dengan tepian, agar jika aku tak tertarik dengan apa yang dia katakan nanti aku bisa melihat kendaraan yang berlalu lalang dibawah sana.
“apa yang ingin kamu katakan?” tanyaku.
“tak banyak, aku hanya ingin mengatakan hal-hal yang berkaitan dengan kepergianku beberapa bulan yang lalu”
“delapan bulan” sahutku
“kamu menghitungnya? Jadi pasti kamu masih marah kepadaku”
Aku hanya terdiam
“aku pergi ke luar negeri. Steven, sepupuku meninggal karena kecelakaan. Dia hanya tinggal dengan adiknya, Alex di Vegas. Orang tua mereka sudah lama meninggal, jadi aku dan keluargakulah yang harus mengurus pemakamannya. Aku dan keluargaku sangat tergesa-gesa saat itu, jadi ponselku tertinggal. Aku langsung berangkat ke Vegas tanpa memberitahumu terlebih dahulu”
Aku mulai mendengarkannya.
“saat pemakaman selesai orang tuaku langsung kembali kesini, mereka harus mengurus bisnis mereka. Tapi aku tak bisa kembali, aku harus menemani dan mengurus adik sepupuku disana. Dia yatim sedari dulu dan sekarang benar-benar hidup sendiri”
“kenapa  kamu tak menghubungiku selama itu?”
“aku tak hafal nomormu, dan aku sangat sibuk disana. Aku tau wanita tak menerima alasan sibuk, tapi aku tak tau bahwa ternyata mengurus seorang adik memang benar-benar sibuk”
“lalu kenapa sekarang kamu kembali?”
“Alex sudah di adopsi oleh seseorang yang kaya dan aku harus menemuimu”
Rein datang membawa secangkir kopi dengan tersenyum. Dari aromanya, kutebak itu arabika. Meski aku bukan seorang barista, sedikit banyak aku terus belajar sesuatu dari Hans setiap hari. Dia adalah barista yang baik, dan tak segan berbagi pengetahuan kepada siapa saja.
“sepertinya kalian lama tak bertemu” ujar Rein
“begitulah” sahut Arian
Rein meletakkan cangkir keatas meja kami lalu tersenyum kepadaku “kamu tak akan memperkenalkannya kepadaku?”
“eh, ya... Rein, ini Arian. Arian, ini Rein dan aku yakin Rein ingin bertanya tentang banyak hal kepadamu” ujarku kepada Arian
“oh, tentu. Jika aku tak mengganggu jam kerjamu aku tak masalah” jawabnya
“secara teknis kamu juga mengganggu jam kerja Syna, dan sekarang dibawah sedang banyak pengunjung” sahutnya “tapi aku tak keberatan jika kamu mengajakku keluar di akhir pekan ini” lanjutnya.
“astaga, kamu terlalu cepat Rein” sahutku
“ah, tentu... aku juga tak punya janji dengan siapapun akhir pekan ini” ujar Arian
“baiklah, tapi sekarang kami harus pergi. Nikmati kopimu sebelum pergi, itu kopi perkenalan dariku. Jadi kamu tak perlu membayarnya” kata Rein
“kamu sangat baik, terimakasih” kata Arian
........................
Saat percakapan kemarin aku tak sempat mengatakan aku sudah memiliki kekasih pada Arian. Aku tak merasa bersalah padanya karena aku tak sempat dan mungkin itu membuatnya memiliki harapan lebih kepadaku, tapi justru aku merasa bersalah kepada Nathan karena aku tak memberitahukannya pertemuanku dengan Arian. Bukannya aku tidak mau melakukannya, hanya saja aku tak tahu harus memulai dari mana. Apakah mulai dari sebenarnya aku memiliki hubungan dengan orang lain yang belum selesai dan aku tetap menerima Nathan empat bulan yang lalu? Atau mulai dengan aku tak sempat membicarakannya karena aku sudah menganggap Arian hilang dari daftar nama di pikiranku?
Bahkan tak pernah terlintas difikiranku Arian akan kembali dan menemuiku. Dan tentang perasaanku, aku sendiri tak mampu menjelaskannya. Dia adalah masa lalu. Meski ada banyak hal indah tentang kita, hal itu tertutupi oleh kebencian saat aku sadar saat itu Dia meninggalkanku tanpa alasan, tanpa berpamitan, dan aku ingat persis hubungan kita baik-baik saja saat itu, tak ada pertengkaran atau bahkan perselisihan kecil. Dia hanya, meninggalkanku begitu saja.
“aku suka malam ini, bulan terlihat lebih indah dari biasanya”
“aku tak melihat bulan... apa kamu sedang mengigau?” tanyaku
“bulannya sedang ada dihadapanku”
Aku hanya tersenyum, tertunduk tersipu malu.
“kemarin aku mengikuti workshop di Technic Center” kata Nathan.
“oh ya, lalu? Apa yang kamu dapat?”
“tentu saja teknik-teknik baru mendesain web yang lebih baik. Tapi bukan itu yang ingin kubicarakan”
“lalu?”
“saat aku pulang, aku melewati kafe tempatmu bekerja. Sebenarnya aku ingin mampir, tapi sepertinya kamu bertemu seseorang di rooftop
“oh, ya... aku bertemu seseorang. Tapi seharusnya kamu langsung mampir. Kenapa malah mengurungkan niat?”
“saat aku melihatmu dari bawah, kamu terlihat sangat serius mendengarkannya. Aku khawatir jika aku benar mampir aku akan mengganggu kalian. Tapi, siapa dia?”
Kenapa aku tak menyadari Nathan ada disana saat itu? Bagaimana aku menjawab pertanyaan ini? kenapa tidak ada seseorang yang datang menyapa dan mengalihkan pembicaraan ini?
“Dia... teman lama. Kemarin dia bercerita tentang perjalanannya setelah kami berpisah delapan bulan yang lalu. Jadi aku harus benar-benar mendengarkannya, iya kan?”
“oh... jadi kemarin itu reuni?”
“begitulah...”
........................
Aku sudah janji bertemu dengan Tari sore ini, tapi kemana dia? Kenapa lama sekali?
“hai...” teriaknya dari kejauhan. “apa aku terlambat?” tanyanya setelah dekat.
“aku sudah menghabiskan tiga cone es krim dan kamu masih berani bertanya seperti itu?”
“astaga, jika ada angka nol sampai sepuluh nilaimu adalah minus dua. Kamu sangat tidak pandai berbohong. Aku tau kamu tidak akan makan es krim setelah jam tiga. Dan aku tak melilhat satupun bungkus es krim di sekitarmu”
“ah, ya... karena kamu menganalisa dengan baik aku memaafkanmu kali ini, tapi jika lain kali kamu terlambat, aku akan memintamu membelikanku sandwich
“tentu... oh ya, beberapa hari yang lalu Nathan mengirimiku sebuah foto. Dan itu membuatku terkejut”
“foto apa? Orang mati bunuh diri?”
“sepertinya kau yang akan bunuh diri setelah tau foto apa itu”
“jangan membuatku takut. Katakan, foto apa itu?”
“fotomu dengan Arian” ucap Tari membuatku mematung “sepertinya foto itu diambil di rooftop kafemu, Nathan bertanya siapa yang sedang bersamamu”
“dan kau menjawabnya?”
“menjawab kalau nama orang yang didepanmu itu Arian? Tidak. Aku menjawab bahwa dia mantan pacarmu. Setelah aku mengirim jawabanku dia tak membalas lagi”
“apa kau sungguh-sungguh?” tanyaku tak percaya
“tantu... untuk apa aku berbohong?”
Aku hanya terdiam
“Syna, Nathan itu pacarmu. Tak seharusnya kau menyembunyikan sesuatu darinya”
“aku tidak ingin menyembunyikan apapun. Hanya saja aku tak tau harus berkata apa”
“kau masih mencintai Arian?”
“tidak, tidak seperti itu.. aku hanya tidak tau”
“Syna, jujur itu bukan sekedar tidak berbohong. Kamu juga tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari pasanganmu”
“aku tau”
“dan, aku tidak terima jika kau kembali pada Arian. Bagiku, menghilang selama delapan bulan sudah cukup menjadi alasan kau tidak kembali lagi kepadanya”
........................
Aku membuka pintu kafe dengan malas, ini adalah hari senin yang suntuk. Tapi dengan alasan apapun aku bukan tipe orang yang suka bolos kerja hanya karena lelah, sedikit demam apalagi cuma karena malas. Aku bukan orang seperti itu.
“hai Syna . . .” sapa Rein dengan penuh semangat dan senyum sumringah
“ada apa? Kenapa kamu terlihat sangat bercahaya? Apa kamu mengambil energi matahari siang ini? atau kamu baru saja bertemu seorang bintang film?” tanyaku asal.
“kau tau Syna, temanmu itu orang yang menyenangkan” jawabnya.
“siapa yang kau maksud?” tanyaku sambil menaruh ransel kedalam loker diruang ganti dekat pantry.
“Arian”
“kau keluar dengannya?” tentu saja aku tak cemburu. Arian sudah bukan siapa-siapa bagiku dan syukurlah jika Arian pergi dengan Rein, itu artinya dia tidak menaruh harapan yang besar terhadapku.
“iya, dia juga menanyakan apakah kau memiliki kekasih, ketika aku menjawab iya dia langsung merubah topik pembicaraan. Kalian tidak memiliki hubungan selain teman bukan?”
“mm... eh, tidak. Kami memang hanya berteman. Jadi, kalian bersenang-senang?”
“tentu, ah... aku harus berterimakasih pada kekasihmu, mungkin karena kopi itu Arian menjadi ramah kepadaku dan bahkan mengajakku jalan”
“kekasihku? Kopi apa maksudmu? Apa yang kau bicarakan?” tanyaku benar-benar tak mengerti arah pembicaraan ini
“kopi yang kuberikan pada Arian tempo hari saat kalian berbincang di rooftop, sebenarnya aku tak memberikannya percuma. Waktu itu Nathan datang dan memesan kopi lalu menyuruhku memberikannya pada Arian tapi Nathan bilang kopi itu atas namaku saja. Aku juga heran kenapa Nathan tidak menemuimu dan langsung pergi begitu saja, tapi intinya karena secangkir kopi itu aku bisa jalan dengan Arian. Jadi bagaimana aku harus berterimakasih kepadanya ya?”
Hari itu Nathan tidak sekedar lewat di depan kafe dan mengambil gambarku bersama Arian lalu mengirimkannya pada Mentari, dia juga masuk ke kafe dan memesan kopi untuk Arian. Apa begitu cara dia marah? Kenapa malam itu dia tidak langsung bertanya kepadaku. Kenapa malam itu dia berbicara seolah dia tak tau apapun padahal dia tau semuanya? Nathan, apa yang harus kulakukan?
Aku berada di rooftop hingga senja, semua pekerjaan sudah kuselesaikan dan seperti biasa pada jam-jam ini pelanggan mulai berkurang jadi aku sedikit bisa beristirahat. Tidak, maksudku bukan istirahat. Maksudku berfikir tentang apa yang harus kulakukan terhadap Nathan dan Arian. Bagaimana aku bisa memikirkannya? Aku hanya akan tertunduk disini sepanjang malam.
Lalu aku menyadari ada sesuatu terjepit dibawah kaki meja, seperti secarik kertas struk pembayaran tapi lebih besar. Seingatku struk kafe ini tidak sebesar itu, siapa yang meninggalkan sampahnya disini? Atau itu sesuatu yang tertinggal? Baiklah, aku akan mengalah dan membuangnya agar kafe ini tetap bersih, bukankah itu baik?
Catatan apa ini? tulisan yang sangat abstrak, apa yang  menulis ini  tak pernah duduk di bangku sekolah dasar? Atau dia menulis sambil tertidur? Atau mungkin ini tulisan dokter? Iya, ini tulisan dokter. Jadi ini adalah resep, bukan struk. Itu berarti obatnya belum ditebus dan aku sebagai orang yang baik akan berusaha  mengembalikan ini kepada pemiliknya, salah satu dari sekian banyak pengunjung kafe ini. bagaimana caranya? Tentu saja. Tulisan pertama  pastinya adalah nama pemilik resep ini dan tentu saja sulit untuk dibaca karena ini tulisan penuh dengan kode yang bahkan tak bisa dipecahkan oleh satuan Angkatan Udara, maksudku ini tulisan dokter.
“tn.” Kemudian huruf pertama seperti A diikuti huruf-huruf berantakan lainnya. Ini lebih mirip tanda tangan, atau paraf anak kecil yang sedang belajar membuat tanda tangan. A-R dan huruf terakhir mungkin N yang terlihat lebih panjang dari coretan kesalahan pada tesis yang dikoreksi.
“tn.Arian” Arian? Apa iya? Jika kupikir-pikir ini memang meja yang sama dengan saat aku bertemu dengannya. Jadi ini benar milik Arian. Aku akan menelponnya.
. . . .
Kenapa dia tidak mengangkatnya?
Aku mecoba menghubunginya kembali.
. . . .
“halo...” ucap seorang wanita di telepon
“halo” kataku “maaf, ini siapa?”
“seharusnya saya yang bertanya, karena anda yang menelpon ke nomor ini” jawabnya
“oh ya, maaf. Maksud saya bukannya ini nomor Arian?” tanyaku “jika Arian tidak ada, lalu anda siapa?”
“saya mamanya Arian, ini siapa?”
“oh, ini Syna tante” jawabku “tante masih ingat Syna?”
“oh ya... tentu saja tante ingat” kata wanita di telepon berubah menjadi ramah “apa kabar Syna?”
“Syna baik tante” ujarku “tante sendiri apa kabar?”
“tante juga baik” kata Tante Rose “Syna, Arian sedang tidur siang... apa tante perlu membangunkannya?”
“oh, tidak tante... bilang saja ke Arian, resep dokter miliknya terjatuh di kafe waktu kita bertemu”
“oh, jatuh disitu rupanya, beberapa hari ini memang Arian sedang mencari resep itu... sebenarnya resep itu harus segera ditebus”
“oh ya tante? Kalau begitu nanti tolong minta Arian ambil di kafe... tapi kalau boleh tau, Arian sakit apa tante?”
“dia tidak memberitahumu? Dia terkena kanker Syna, stadium tiga. Delapan bulan lalu kita semua pergi ke LA untuk pengobatan”
. . . .
Sore ini aku tahu bahwa delapan bulan lalu Arian tidak pergi ke Vegas tapi ke Los Angles. Arian tidak menghadiri pemakaman tapi menjalani pengobatan, dia tidak menjaga adik sepupunya, dia sakit. Kau tahu seperti apa perasaanku saat ini? aku seperti ada dalam putaran waktu yang terus berjalan disekitarku tapi diriku sendiri terhenti. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi, atau apa yang kurasakan, atau apa yang harus kulakukan. Seperti aku tahu sebuah rahasia besar tentang seseorang yang sedang sekarat tapi aku justru lari darinya dan tidak mengulurkan tanganku padanya. Aku merasa sedang jatuh kedalam jurang dengan memegang tangan Arian sedangkan tanganku yang lainnya dipegang Nathan. Aku tak bisa melepaskan tangan Arian dan tak mau dilepaskan Nathan, seperti pilihan antara aku jatuh bersama Arian atau aku sendiri yang menjatuhkan Arian. Apa yang bisa kuperbuat?
........................
“apa kau mau mengatakan sesuatu?” tanya Nathan membuyarkan lamunanku.
“eh, emmm... ya, aku” aku hanya mampu terbata-bata tak jelas mencari sesuatu untuk dilihat, orang-orang yang berjalan dengan terburu-buru, payung-payung kafe, bintang yang makin tak terlihat, atau gerimis tipis yang mulai turun, atau apasaja lah.
“aku sudah tau keadaannya, kamu hanya harus berkata jujur padaku” sahutnya
“kamu tahu dia sakit? Maksudku, Arian”
“iya, beberapa hari yang lalu aku bertemu dengannya. Dan mengetahui semuanya, bahkan mungkin saat itu kau belum tahu dia sakit”
“kau bertemu dengannya?”
“iya”
“apa yang harus kulakukan Nathan? Katakan padaku”
“kau hanya harus jujur. Itu saja”
“jujur tentang apa?”
“tentang siapa yang lebih kau cintai. Dan aku tak akan mengatakan apapun atas keputusanmu”
“apa maksudmu? Aku mencintaimu Nathan, sungguh”
“aku tahu Syna, tapi kau juga mencintainya”
Aku hanya terdiam sesaat “bukan seperti itu, aku hanya tak tahu bagaimana perasaanku kepadanya saat ini”
“kamu tahu sayang, kamu hanya bisa berjalan dengan satu tujuan. Jika ada persimpangan di depanmu, kamu tidak bisa melalui kedua jalan itu. Kamu hanya bisa memilih satu”
“tak bisakah aku berhenti saja di persimpangan itu?”
“apa maksudmu? Kamu harus terus berjalan”
“tak bisakah kamu menungguku?”
“tidak sayang, aku dan kamu akan terus berjalan. Dan jika di persimpangan kamu memilih jalan yang berbeda dengan orang yang berbeda...”
“maka kita harus berpisah?” air mataku mulai menetes
“iya. Kemarilah...” ucap Arian lirih.
Aku mendekat kepadanya dan mulai bersandar di bahunya, membasahinya dengan air mataku dan terisak di dekapannya.
“beri aku... beri aku waktu Arian”
“tentu, kau punya banyak waktu sayang. Hanya saja besok aku harus ke Ausy”
“apa?” aku tak percaya “kenapa?”
“meningkatkan ketrampilanku mendesign web. Aku harus belajar, mungkin dua atau tiga tahun”
“kau harus?”
“aku harus” jawabnya “mungkin ini yang terbaik, kita harus berpisah. Jangan berfikir yang tidak-tidak, aku hanya ingin mendapatkan lebih banyak waktu untuk belajar”
“jadi?”
“jadi setelah aku berangkat besok, kau bisa memutuskan jalan mana yang akan kau lalui”
“aku tidak bisa”
“kau bisa Syna”
Lalu Nathan pergi seperti jejak-jejaknya yang terhapus air hujan, sedangkan aku hanya terpaku dalam diam. Dia pergi tanpa berbalik seolah dia akan benar-benar pergi dan melupakanku. Air hujan membawa pantulan gambarannya pergi seolah aku tak boleh menyimpan apapun, bahkan meski hanya bayangannya. Ternyata jurang itu sangat dalam dengan dasar yang tak terlihat. Dan Nathan melepasakan genggaman tangannya. Dan aku terjatuh.
. . . .
“Syna, kau mau kuantar pulang?” ucap seseorang di belakangku
Aku berbalik dan melihat dia berdiri tepat di depanku “Arian?” tanyaku “sejak kapan kau disini?”
“dihadapanmu? Baru saja. Tapi aku memang disini sejak tadi. Hanya saja kau tak menyadarinya”
“kau melihat semua?”

-To be continued-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar