“bagaimana bisa
dia tiba-tiba saja muncul setelah menghilang selama delapan bulan? Dia itu psikopat
atau apa? Syna dengarkan aku, aku sama sekali nggak rela kalo kamu balik sama
dia. Ini nggak fair, dia hilang nggak ada kabar, ninggalin kamu gitu aja
tanpa alasan, dia itu freak Na”
“I know
Tari, aku paham. Bahkan aku sendiri yang merasakan ini. Tapi Arian pasti punya
alasan yang kuat untuk melakukan itu”
“apapun itu
Syna, apapun itu! Dengan alasan apapun aku tak akan rela jika kamu bersamanya”
Ucapan Mentari
ada benarnya, aku tak mungkin dan tak akan kembali pada Arian.
.......
.................
“Nathan, kamu
tahu? Namamu tidak terlalu panjang tapi kenapa ejaannya sangat panjang?
J-H-O-N-N-A-T-H-A-N itu sangat aneh. Seperti Sharlothe yang dieja
S-H-A-R-L-O-T-H-E, itu terlalu panjang”
“astaga, apakah
hal sekecil itu mengganggumu? Itulah kenapa aku tak pernah mengerti wanita.
Mereka memperhatikan hal-hal kecil yang terkadang sangat konyol untuk
dilakukan” jawab Nathan kesal. Kami berada di ketinggian lima puluh delapan
kaki dari tanah didalam sebuah kabin yang saling terhubung dengan besi-besi dan
baut-baut besar, seperti roda raksasa yang berputar di tempat. Malam ini
terlalu indah jika hanya untuk duduk didalam kafe pinggir jalan, jadi kami memutuskan
untuk membayar beberapa lembar uang dan naik bianglala ditepi sungai yang cukup
ramai dikunjungi banyak pasangan di malam akhir pekan, seperti kami misalnya.
“jangan
mengelak, kamu mengerti wanita dengan baik. Dan aku masih penasaran dengan
beberapa hal”
“apalagi yang mengusikmu?”
“kenapa kamu
mengirim pos card ke kafe, dan kenapa kamu hanya mengirim di hari
selasa?”
“pos card
itu, kamu baru menanyakannya setelah kita jadian empat bulan? Itu lebih
membuatku bingung”
“sebelum ini
aku hanya ingin menikmati waktu kita bersama. Itu saja”
“lalu kenapa
sekarang menanyakannya?”
“entahlah,
mungkin aku terkena lupa ingatan selama ini”
Nathan tertawa
kecil
“kamu tidak
akan menjelaskannnya?” tanyaku.
“aku tidak
memiliki alasan untuk hal itu”
“maksudmu?”
“maksudku, aku
hanya iseng. Aku hanya ingin membuatmu berkesan dengan mengirimnya setiap hari
selasa dan jika kamu mengingatnya sampai sekarang akan kusimpulkan bahwa trik
itu berhasil. Isn’t it?”
“ya, it
works” timpalku. “tapi kenapa kamu mengirimnya ke kafe? Kenapa tidak ke
rumah atau kampus? Dan kenapa tak ada seorangpun yang tahu ada pengirim pos
card?”
“astaga, kamu
banyak tanya, tapi pertanyaanmu terlalu mudah. Tidakkah kamu bisa
menganalisanya sendiri?”
“perempuan
memang banyak pertanyaan, dan tentunya menganalisa. Tapi seringnya pemikiran
lelaki dan perempuan itu berbeda, dan kuharap jawabanmu kali ini tidak sekedar
iseng”
“ah, aku hanya
berfikir sederhana, seperti kebanyakan lelaki. Mereka tak ingin sebuah masalah
menjadi rumit dan berbelit”
“jadi mengirim pos
card adalah sebuah masalah?”
“bukan itu
maksudku. Aku tidak berfikir akan mengirim pos card itu ke kampus,
memangnya kamu ingin semua teman kita mengetahui hal itu? Aku tidak se-frontal
itu. Aku juga tak ingin mengirimnya ke rumahmu karena aku tak ingin orang tuamu
mengetahui segalanya sedangkan dirimu belum tentu menerimaku waktu itu”
“lalu,
bagaimana bisa tak ada yang tau posman mengirim pos card ke kafe?”
“kafe adalah
tempat yang paling strategis, tak banyak teman atau keluargamu yang tau
kehidupanmu disana, makanya aku memilih tempat itu. Dan untuk pengirimnya, aku
sendirilah yang menjadi posman. Hampir setiap malam aku keluar untuk
sekedar mencari angin, mengopi atau berdiskusi tentang berbagai hal dengan
teman-temanku, jadi itu adalah hal yang mudah bagiku menyelipkan pos card
ke kafe setiap selasa pukul satu atau dua malam. Sedangkan kafe hanya
beroperasi dari pukul delapan sampai sebelas malam. Itu waktu yang cukup
panjang untukku”
“pemikiran yang
gila”
“bukan, itu
pemikiran paling sederhana. Jika kamu diposisiku kamu tidak akan bisa
memikirkan alasan lain. Dan semua yang kulakukan, secara teknis bisa membuatmu
berkata ‘iya’ malam itu”
Selanjutnya
kami berbincang tentang hal-hal kecil yang tak serius, seperti mobil yang
melintas di jalan raya yang terlihat kecil dari ketinggian atau makanan di
sebuah kafe di ujung jalan yang tak enak meski menunya selalu berubah setiap
dua minggu.
........................
Ini sudah
hampir senja, pengunjung kafe satu persatu beranjak. Biasanya kafe akan penuh
dengan pengunjung lagi setelah pukul tujuh atau delapan malam. Jadi aku akan
sedikit bersantai setelah kuselesaikan cucian piring dan cangkir-cangkir ini.
“Syna, ada orang
yang mencarimu” ujar Rein dipintu. Dia salah seorang temanku, pegawai kafe ini
juga tentunya.
“siapa?”
“entah, dia
tampan. Jika kamu tak menemuinya, aku mau menggantikanmu”
Aku tersenyum
kecil “tentu saja kamu mau, tapi aku mau kamu menggantikan tempatku disini,
kamu keberatan?”
“ah kamu ini,
aku meminta orang yang tampan, kamu memberiku piring kotor, apa itu sepadan?”
“baiklah, aku
akan membuatkanmu cappuchino yang enak nanti”
“aku tidak
yakin kamu bisa membuatnya”
“aku sudah
belajar dari Hans” -barista nomor satu di kafe ini-
Aku pergi
meninggalkannya sendiri dan melihat siapa yang mencariku.
“Arian? Apa
yang kamu lakukan disini?” aku benar-benar tak menduga dia datang kesini.
“ada yang ingin
aku bicarakan” ujarnya
“ikutlah
denganku ke lantai atas” ucapku sambil bergegas menuju tangga, aku yakin dia
mengikutiku.
Bangunan kafe
ini tak cukup luas, jadi pemilik kafe membuat set di depan kafe, dan diatap.
Konsep rooftop yang sederhana dengan beberapa payung besar yang
tersambung langsung ke meja, kursi-kursi disekelilingnya dan bunga-bunga di
tepian, dan satu kursi ayunan kayu di pojokan. Itu tempat favoritku, tapi aku
tak membawa Arian ke tempat itu. Aku membawanya duduk di kursi-kursi yang lebih
dekat dengan tepian, agar jika aku tak tertarik dengan apa yang dia katakan
nanti aku bisa melihat kendaraan yang berlalu lalang dibawah sana.
“apa yang ingin
kamu katakan?” tanyaku.
“tak banyak,
aku hanya ingin mengatakan hal-hal yang berkaitan dengan kepergianku beberapa
bulan yang lalu”
“delapan bulan”
sahutku
“kamu
menghitungnya? Jadi pasti kamu masih marah kepadaku”
Aku hanya
terdiam
“aku pergi ke
luar negeri. Steven, sepupuku meninggal karena kecelakaan. Dia hanya tinggal
dengan adiknya, Alex di Vegas. Orang tua mereka sudah lama meninggal, jadi aku
dan keluargakulah yang harus mengurus pemakamannya. Aku dan keluargaku sangat
tergesa-gesa saat itu, jadi ponselku tertinggal. Aku langsung berangkat ke
Vegas tanpa memberitahumu terlebih dahulu”
Aku mulai
mendengarkannya.
“saat pemakaman
selesai orang tuaku langsung kembali kesini, mereka harus mengurus bisnis
mereka. Tapi aku tak bisa kembali, aku harus menemani dan mengurus adik
sepupuku disana. Dia yatim sedari dulu dan sekarang benar-benar hidup sendiri”
“kenapa kamu tak menghubungiku selama itu?”
“aku tak hafal
nomormu, dan aku sangat sibuk disana. Aku tau wanita tak menerima alasan sibuk,
tapi aku tak tau bahwa ternyata mengurus seorang adik memang benar-benar sibuk”
“lalu kenapa
sekarang kamu kembali?”
“Alex sudah di
adopsi oleh seseorang yang kaya dan aku harus menemuimu”
Rein datang
membawa secangkir kopi dengan tersenyum. Dari aromanya, kutebak itu arabika.
Meski aku bukan seorang barista, sedikit banyak aku terus belajar sesuatu dari
Hans setiap hari. Dia adalah barista yang baik, dan tak segan berbagi
pengetahuan kepada siapa saja.
“sepertinya
kalian lama tak bertemu” ujar Rein
“begitulah”
sahut Arian
Rein meletakkan
cangkir keatas meja kami lalu tersenyum kepadaku “kamu tak akan
memperkenalkannya kepadaku?”
“eh, ya...
Rein, ini Arian. Arian, ini Rein dan aku yakin Rein ingin bertanya tentang
banyak hal kepadamu” ujarku kepada Arian
“oh, tentu.
Jika aku tak mengganggu jam kerjamu aku tak masalah” jawabnya
“secara teknis
kamu juga mengganggu jam kerja Syna, dan sekarang dibawah sedang banyak pengunjung”
sahutnya “tapi aku tak keberatan jika kamu mengajakku keluar di akhir pekan
ini” lanjutnya.
“astaga, kamu
terlalu cepat Rein” sahutku
“ah, tentu...
aku juga tak punya janji dengan siapapun akhir pekan ini” ujar Arian
“baiklah, tapi
sekarang kami harus pergi. Nikmati kopimu sebelum pergi, itu kopi perkenalan
dariku. Jadi kamu tak perlu membayarnya” kata Rein
“kamu sangat
baik, terimakasih” kata Arian
........................
Saat percakapan
kemarin aku tak sempat mengatakan aku sudah memiliki kekasih pada Arian. Aku
tak merasa bersalah padanya karena aku tak sempat dan mungkin itu membuatnya
memiliki harapan lebih kepadaku, tapi justru aku merasa bersalah kepada Nathan
karena aku tak memberitahukannya pertemuanku dengan Arian. Bukannya aku tidak
mau melakukannya, hanya saja aku tak tahu harus memulai dari mana. Apakah mulai
dari sebenarnya aku memiliki hubungan dengan orang lain yang belum selesai dan
aku tetap menerima Nathan empat bulan yang lalu? Atau mulai dengan aku tak
sempat membicarakannya karena aku sudah menganggap Arian hilang dari daftar
nama di pikiranku?
Bahkan tak
pernah terlintas difikiranku Arian akan kembali dan menemuiku. Dan tentang
perasaanku, aku sendiri tak mampu menjelaskannya. Dia adalah masa lalu. Meski
ada banyak hal indah tentang kita, hal itu tertutupi oleh kebencian saat aku
sadar saat itu Dia meninggalkanku tanpa alasan, tanpa berpamitan, dan aku ingat
persis hubungan kita baik-baik saja saat itu, tak ada pertengkaran atau bahkan
perselisihan kecil. Dia hanya, meninggalkanku begitu saja.
“aku suka malam
ini, bulan terlihat lebih indah dari biasanya”
“aku tak
melihat bulan... apa kamu sedang mengigau?” tanyaku
“bulannya
sedang ada dihadapanku”
Aku hanya tersenyum,
tertunduk tersipu malu.
“kemarin aku
mengikuti workshop di Technic Center” kata Nathan.
“oh ya, lalu?
Apa yang kamu dapat?”
“tentu saja
teknik-teknik baru mendesain web yang lebih baik. Tapi bukan itu yang ingin
kubicarakan”
“lalu?”
“saat aku pulang,
aku melewati kafe tempatmu bekerja. Sebenarnya aku ingin mampir, tapi
sepertinya kamu bertemu seseorang di rooftop”
“oh, ya... aku
bertemu seseorang. Tapi seharusnya kamu langsung mampir. Kenapa malah
mengurungkan niat?”
“saat aku
melihatmu dari bawah, kamu terlihat sangat serius mendengarkannya. Aku khawatir
jika aku benar mampir aku akan mengganggu kalian. Tapi, siapa dia?”
Kenapa aku tak
menyadari Nathan ada disana saat itu? Bagaimana aku menjawab pertanyaan ini?
kenapa tidak ada seseorang yang datang menyapa dan mengalihkan pembicaraan ini?
“Dia... teman
lama. Kemarin dia bercerita tentang perjalanannya setelah kami berpisah delapan
bulan yang lalu. Jadi aku harus benar-benar mendengarkannya, iya kan?”
“oh... jadi
kemarin itu reuni?”
“begitulah...”
........................
Aku sudah janji
bertemu dengan Tari sore ini, tapi kemana dia? Kenapa lama sekali?
“hai...”
teriaknya dari kejauhan. “apa aku terlambat?” tanyanya setelah dekat.
“aku sudah
menghabiskan tiga cone es krim dan kamu masih berani bertanya seperti
itu?”
“astaga, jika
ada angka nol sampai sepuluh nilaimu adalah minus dua. Kamu sangat tidak
pandai berbohong. Aku tau kamu tidak akan makan es krim setelah jam tiga. Dan
aku tak melilhat satupun bungkus es krim di sekitarmu”
“ah, ya...
karena kamu menganalisa dengan baik aku memaafkanmu kali ini, tapi jika lain
kali kamu terlambat, aku akan memintamu membelikanku sandwich”
“tentu... oh
ya, beberapa hari yang lalu Nathan mengirimiku sebuah foto. Dan itu membuatku
terkejut”
“foto apa?
Orang mati bunuh diri?”
“sepertinya kau
yang akan bunuh diri setelah tau foto apa itu”
“jangan
membuatku takut. Katakan, foto apa itu?”
“fotomu dengan
Arian” ucap Tari membuatku mematung “sepertinya foto itu diambil di rooftop
kafemu, Nathan bertanya siapa yang sedang bersamamu”
“dan kau
menjawabnya?”
“menjawab kalau
nama orang yang didepanmu itu Arian? Tidak. Aku menjawab bahwa dia mantan
pacarmu. Setelah aku mengirim jawabanku dia tak membalas lagi”
“apa kau
sungguh-sungguh?” tanyaku tak percaya
“tantu... untuk
apa aku berbohong?”
Aku hanya
terdiam
“Syna, Nathan
itu pacarmu. Tak seharusnya kau menyembunyikan sesuatu darinya”
“aku tidak
ingin menyembunyikan apapun. Hanya saja aku tak tau harus berkata apa”
“kau masih
mencintai Arian?”
“tidak, tidak
seperti itu.. aku hanya tidak tau”
“Syna, jujur
itu bukan sekedar tidak berbohong. Kamu juga tidak bisa menyembunyikan sesuatu
dari pasanganmu”
“aku tau”
“dan, aku tidak
terima jika kau kembali pada Arian. Bagiku, menghilang selama delapan bulan
sudah cukup menjadi alasan kau tidak kembali lagi kepadanya”
........................
Aku membuka
pintu kafe dengan malas, ini adalah hari senin yang suntuk. Tapi dengan alasan
apapun aku bukan tipe orang yang suka bolos kerja hanya karena lelah, sedikit
demam apalagi cuma karena malas. Aku bukan orang seperti itu.
“hai Syna . .
.” sapa Rein dengan penuh semangat dan senyum sumringah
“ada apa?
Kenapa kamu terlihat sangat bercahaya? Apa kamu mengambil energi matahari siang
ini? atau kamu baru saja bertemu seorang bintang film?” tanyaku asal.
“kau tau Syna,
temanmu itu orang yang menyenangkan” jawabnya.
“siapa yang kau
maksud?” tanyaku sambil menaruh ransel kedalam loker diruang ganti dekat pantry.
“Arian”
“kau keluar
dengannya?” tentu saja aku tak cemburu. Arian sudah bukan siapa-siapa bagiku
dan syukurlah jika Arian pergi dengan Rein, itu artinya dia tidak menaruh
harapan yang besar terhadapku.
“iya, dia juga
menanyakan apakah kau memiliki kekasih, ketika aku menjawab iya dia langsung
merubah topik pembicaraan. Kalian tidak memiliki hubungan selain teman bukan?”
“mm... eh,
tidak. Kami memang hanya berteman. Jadi, kalian bersenang-senang?”
“tentu, ah...
aku harus berterimakasih pada kekasihmu, mungkin karena kopi itu Arian menjadi
ramah kepadaku dan bahkan mengajakku jalan”
“kekasihku?
Kopi apa maksudmu? Apa yang kau bicarakan?” tanyaku benar-benar tak mengerti
arah pembicaraan ini
“kopi yang
kuberikan pada Arian tempo hari saat kalian berbincang di rooftop,
sebenarnya aku tak memberikannya percuma. Waktu itu Nathan datang dan memesan
kopi lalu menyuruhku memberikannya pada Arian tapi Nathan bilang kopi itu atas
namaku saja. Aku juga heran kenapa Nathan tidak menemuimu dan langsung pergi
begitu saja, tapi intinya karena secangkir kopi itu aku bisa jalan dengan
Arian. Jadi bagaimana aku harus berterimakasih kepadanya ya?”
Hari itu Nathan
tidak sekedar lewat di depan kafe dan mengambil gambarku bersama Arian lalu
mengirimkannya pada Mentari, dia juga masuk ke kafe dan memesan kopi untuk
Arian. Apa begitu cara dia marah? Kenapa malam itu dia tidak langsung bertanya
kepadaku. Kenapa malam itu dia berbicara seolah dia tak tau apapun padahal dia
tau semuanya? Nathan, apa yang harus kulakukan?
Aku berada di
rooftop hingga senja, semua pekerjaan sudah kuselesaikan dan seperti biasa pada
jam-jam ini pelanggan mulai berkurang jadi aku sedikit bisa beristirahat.
Tidak, maksudku bukan istirahat. Maksudku berfikir tentang apa yang harus
kulakukan terhadap Nathan dan Arian. Bagaimana aku bisa memikirkannya? Aku
hanya akan tertunduk disini sepanjang malam.
Lalu aku
menyadari ada sesuatu terjepit dibawah kaki meja, seperti secarik kertas struk
pembayaran tapi lebih besar. Seingatku struk kafe ini tidak sebesar itu, siapa
yang meninggalkan sampahnya disini? Atau itu sesuatu yang tertinggal? Baiklah,
aku akan mengalah dan membuangnya agar kafe ini tetap bersih, bukankah itu
baik?
Catatan apa
ini? tulisan yang sangat abstrak, apa yang
menulis ini tak pernah duduk di
bangku sekolah dasar? Atau dia menulis sambil tertidur? Atau mungkin ini
tulisan dokter? Iya, ini tulisan dokter. Jadi ini adalah resep, bukan struk.
Itu berarti obatnya belum ditebus dan aku sebagai orang yang baik akan
berusaha mengembalikan ini kepada
pemiliknya, salah satu dari sekian banyak pengunjung kafe ini. bagaimana
caranya? Tentu saja. Tulisan pertama
pastinya adalah nama pemilik resep ini dan tentu saja sulit untuk dibaca
karena ini tulisan penuh dengan kode yang bahkan tak bisa dipecahkan oleh
satuan Angkatan Udara, maksudku ini tulisan dokter.
“tn.” Kemudian
huruf pertama seperti A diikuti huruf-huruf berantakan lainnya. Ini lebih mirip
tanda tangan, atau paraf anak kecil yang sedang belajar membuat tanda tangan.
A-R dan huruf terakhir mungkin N yang terlihat lebih panjang dari coretan kesalahan
pada tesis yang dikoreksi.
“tn.Arian”
Arian? Apa iya? Jika kupikir-pikir ini memang meja yang sama dengan saat aku
bertemu dengannya. Jadi ini benar milik Arian. Aku akan menelponnya.
. . . .
Kenapa dia
tidak mengangkatnya?
Aku mecoba
menghubunginya kembali.
. . . .
“halo...” ucap
seorang wanita di telepon
“halo” kataku
“maaf, ini siapa?”
“seharusnya
saya yang bertanya, karena anda yang menelpon ke nomor ini” jawabnya
“oh ya, maaf.
Maksud saya bukannya ini nomor Arian?” tanyaku “jika Arian tidak ada, lalu anda
siapa?”
“saya mamanya
Arian, ini siapa?”
“oh, ini Syna
tante” jawabku “tante masih ingat Syna?”
“oh ya... tentu
saja tante ingat” kata wanita di telepon berubah menjadi ramah “apa kabar
Syna?”
“Syna baik
tante” ujarku “tante sendiri apa kabar?”
“tante juga
baik” kata Tante Rose “Syna, Arian sedang tidur siang... apa tante perlu
membangunkannya?”
“oh, tidak tante...
bilang saja ke Arian, resep dokter miliknya terjatuh di kafe waktu kita bertemu”
“oh, jatuh
disitu rupanya, beberapa hari ini memang Arian sedang mencari resep itu... sebenarnya
resep itu harus segera ditebus”
“oh ya tante?
Kalau begitu nanti tolong minta Arian ambil di kafe... tapi kalau boleh tau,
Arian sakit apa tante?”
“dia tidak
memberitahumu? Dia terkena kanker Syna, stadium tiga. Delapan bulan lalu kita
semua pergi ke LA untuk pengobatan”
. . . .
Sore ini aku
tahu bahwa delapan bulan lalu Arian tidak pergi ke Vegas tapi ke Los Angles.
Arian tidak menghadiri pemakaman tapi menjalani pengobatan, dia tidak menjaga
adik sepupunya, dia sakit. Kau tahu seperti apa perasaanku saat ini? aku
seperti ada dalam putaran waktu yang terus berjalan disekitarku tapi diriku
sendiri terhenti. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi, atau apa yang
kurasakan, atau apa yang harus kulakukan. Seperti aku tahu sebuah rahasia besar
tentang seseorang yang sedang sekarat tapi aku justru lari darinya dan tidak
mengulurkan tanganku padanya. Aku merasa sedang jatuh kedalam jurang dengan
memegang tangan Arian sedangkan tanganku yang lainnya dipegang Nathan. Aku tak
bisa melepaskan tangan Arian dan tak mau dilepaskan Nathan, seperti pilihan
antara aku jatuh bersama Arian atau aku sendiri yang menjatuhkan Arian. Apa
yang bisa kuperbuat?
........................
“apa kau mau
mengatakan sesuatu?” tanya Nathan membuyarkan lamunanku.
“eh, emmm...
ya, aku” aku hanya mampu terbata-bata tak jelas mencari sesuatu untuk dilihat,
orang-orang yang berjalan dengan terburu-buru, payung-payung kafe, bintang yang
makin tak terlihat, atau gerimis tipis yang mulai turun, atau apasaja lah.
“aku sudah tau
keadaannya, kamu hanya harus berkata jujur padaku” sahutnya
“kamu tahu dia
sakit? Maksudku, Arian”
“iya, beberapa
hari yang lalu aku bertemu dengannya. Dan mengetahui semuanya, bahkan mungkin
saat itu kau belum tahu dia sakit”
“kau bertemu
dengannya?”
“iya”
“apa yang harus
kulakukan Nathan? Katakan padaku”
“kau hanya
harus jujur. Itu saja”
“jujur tentang
apa?”
“tentang siapa
yang lebih kau cintai. Dan aku tak akan mengatakan apapun atas keputusanmu”
“apa maksudmu?
Aku mencintaimu Nathan, sungguh”
“aku tahu Syna,
tapi kau juga mencintainya”
Aku hanya
terdiam sesaat “bukan seperti itu, aku hanya tak tahu bagaimana perasaanku kepadanya
saat ini”
“kamu tahu
sayang, kamu hanya bisa berjalan dengan satu tujuan. Jika ada persimpangan di
depanmu, kamu tidak bisa melalui kedua jalan itu. Kamu hanya bisa memilih satu”
“tak bisakah
aku berhenti saja di persimpangan itu?”
“apa maksudmu?
Kamu harus terus berjalan”
“tak bisakah
kamu menungguku?”
“tidak sayang,
aku dan kamu akan terus berjalan. Dan jika di persimpangan kamu memilih jalan
yang berbeda dengan orang yang berbeda...”
“maka kita
harus berpisah?” air mataku mulai menetes
“iya. Kemarilah...”
ucap Arian lirih.
Aku mendekat
kepadanya dan mulai bersandar di bahunya, membasahinya dengan air mataku dan
terisak di dekapannya.
“beri aku...
beri aku waktu Arian”
“tentu, kau
punya banyak waktu sayang. Hanya saja besok aku harus ke Ausy”
“apa?” aku tak
percaya “kenapa?”
“meningkatkan
ketrampilanku mendesign web. Aku harus belajar, mungkin dua atau tiga tahun”
“kau harus?”
“aku harus”
jawabnya “mungkin ini yang terbaik, kita harus berpisah. Jangan berfikir yang
tidak-tidak, aku hanya ingin mendapatkan lebih banyak waktu untuk belajar”
“jadi?”
“jadi setelah
aku berangkat besok, kau bisa memutuskan jalan mana yang akan kau lalui”
“aku tidak
bisa”
“kau bisa Syna”
Lalu Nathan
pergi seperti jejak-jejaknya yang terhapus air hujan, sedangkan aku hanya
terpaku dalam diam. Dia pergi tanpa berbalik seolah dia akan benar-benar pergi
dan melupakanku. Air hujan membawa pantulan gambarannya pergi seolah aku tak
boleh menyimpan apapun, bahkan meski hanya bayangannya. Ternyata jurang itu
sangat dalam dengan dasar yang tak terlihat. Dan Nathan melepasakan genggaman
tangannya. Dan aku terjatuh.
. . . .
“Syna, kau mau
kuantar pulang?” ucap seseorang di belakangku
Aku berbalik
dan melihat dia berdiri tepat di depanku “Arian?” tanyaku “sejak kapan kau
disini?”
“dihadapanmu?
Baru saja. Tapi aku memang disini sejak tadi. Hanya saja kau tak menyadarinya”
“kau melihat
semua?”
-To be
continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar