Meskipun masyarakat Indonesia adalah masyarakat muslim
terbesar di dunia, diskusi pendirian bank berbasis Islam baru muncul pada awal
tahun 1980-an. Dan baru pada 18-20
Aguatus 1990, prakarsa untuk mendirikan bank syariah dilakukan oleh Majlis
Ulama Indonesia (MUI).
Namun sebenarnya jauh sebelum itu, pada 1940-an KH. Mas
Mansyur sebagai ketua pengurus besar Muhammadiyyah periode 1937-1944
mengeluarkan pendapatnya mengenai penggunaan jasa bank konvensional yang
terpaksa dilakukan karena umat islam belum mempunyai lembaga keuangan sendiri
yang bebas riba. Kemudian pada 1970-an
, gagasan pendirian bank syariah mulai
gencar kembali. yakni pada “Seminar Hubungan Indonesia- Timur Tengah” yang
diadakan oleh Lembaga Studi Ilmu Ilmu Kemasyarakatan dan Yayasan Bhineka
Tunggal Ika pada tahun 1974 dan 1976.
Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam
Indonesia memiliki Perbankan Islam mulai sejak itu, seiring munculnya kesadaran
kaum Intelektual dan cendikiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat.
Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan mengenai hukum bunga bank dan
hukum zakat dengan pajak dikalangan para ulama, cendikiawan, dan intelektual
muslim. Namun, gagasan yang diperjuangkan oleh kaum intelektual dan cedikiawan
muslim tersebut tidak berjalan lancar sesuai yang telah direncanakan karena
adanya faktor penghambat dari pendirian Bank Islam tersebut.
Awal tahun 1980-an, digelar lagi diskusi yang bertemakan
Bank Syariah sebagai pilar ekonomi Islam.Diantara tokoh yang terlibat adalah
Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, A. M. Saefuddin, dan M. Amien
Azis. Sebagai uji coba gagasan perbankan Islam dipraktikkan dalam skala relatif
terbatas. Di Bandung, pada lembaga Bait At-Tamwil Slaman ITB dan di Jakarta
pada Koperasi Ridho Gusti. Sehingga M. Darwam menulis dalam sebuah buku tentang
Bank Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan bunga (riba),
serta menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pemgembangan usaha
ekonomi masyarakat yaitu dengan menerapkan sistem mudharabah, musyarakah dan
murabahah.
Upaya intensif pendirian Bank Islam/ Bank Syariah di
Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu saat pemerintah mengeluarkan
Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang mengatur deregulasi industri perbankan di
Indonesia. Setelah adanya rekomendasi lokakarya ulama tentang Bunga Bank di
Cisarua pada 19-22 Agustus 1990, yang kemudian diikuti dengan lahirnya UU No.
7/1992 tentang perbankan dimana bagi-hasil mulai diakomodasikan, maka
berdirilah Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang merupakan bank umum Islam
pertama yang beroperasi di Indonesia. Pembentukan BMI ini diikuti oleh
pendirian bank-bank Perkreditan rakyat Syariah (BPRS). Namun karena lembaga ini
masih dirasakan kurang mencukupi dan belum sanggup menjangkau masyarakat Islam
lapisan bawah, maka dibangunlah lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut Bait
al Maal wat Tamwil (BMT) atau Bait al Qiradh menurut masyarakat Aceh.
Perkembangan Perbankan Syariah
di Indonesia
Rintisan praktek Islam di Indonesia dimulai pada awal
periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar
ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk
menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam
Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Aziz. Sebagai Uji coba, gagasan perbankan
Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung
(Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gush). Sebagai
gambaran, M Dawan Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank
Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba,
sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna
pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas
disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus yakni mudlarabah,
musyarakah dan murabahah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di
Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18-20 Agustus tahun tersebut,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan
perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian
dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22-25 Agustus
1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank
Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud tersebut Tim Perbankan MUI dengan
diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang
terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah
berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya,
berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi
beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan
September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat
dibandingkan dengan negara-negara lain sesama anggota OKI. Hal tersebut
merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili Menteri Keuangan Ali
Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan realisasi
konsep bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan
Basri, yang pada waktu itu sebagai ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi
keterlambatan pendirian Bank Islam di Indonesia karenapolitical-will belum
mendukung.
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja tim perbankan MUI. Akte
pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditanda tangani pada tanggal 1 November
1991. Pada saat penanda tanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen
pembelian saham sebanyak 84 miliar. Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara
silahturahmi Presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen
modal disetor awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Dalam modal awal tersebut pada
tanggal 1 Mei 1992, Bank muamalat indonesia telah memiliki lebih dari 45 outlet
yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makasar.
Pada awal pendirian Bank Muamalat di Indonesia,
keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan
industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan
sistem syariah ini hanya dikategorikan sebagai “bank dengan sistem bagi hasil”:
tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang
diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU No. 7 tahun 1992, dimana
pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan
merupakan “sisipan” belaka.
Selanjutnya sampai di undangkannya Undang-undang No.10
tahin 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan kegiatan
usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu bediri beberapa Bank
Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999,
Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak
perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah
dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat
di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang
syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD
Jabar dan BPD Aceh.
Konsep ekonomi syariah ini diyakini menjadi sistem imun”
yang efektif contohnya Bank Muamalat Indonesia yang tidak terpengruh oleh
gejolak krisis ekonomi ternyata menarik minat pihak perbankan konvensional
untuk mendirikan bank yang juga memakai sistem syariah. Pada tahun 1999,
perbankan syariah berkembang luas dan menjadi internasional pada tahun 2004.
Dengan perkembangan yang cukup signifikan ini, perbankan syariah nantinya
diharapkan dapat menjadi salah satu pancang perekonomian Indonesia yang kuat
dan menjadi solusi terbaik terhadap permasalahan-permasalahan perekonomian yang
ada di masyarakat saat ini , terutama bagi mereka yang memiliki usaha kecil dan
menengah, yang sangat membutuhkan pinjaman dana untuk usahanya.
Dibalik perkembangan perbankan syariah yang dinilai cukup
baik, ternyata perbankan syariah masih memiliki beberapa permasalahan.
Permasalahan datang dari internal perbankan syariah itu sendiri. Perkembangan
perbankan syariah yang baik tidak diimbangi dengan pengetahuan dan pemahaman
yang baik dari karyawan perbankan syariah terhadap perbankan syariah dan
ekonomi islam. Sehingga adanya anggapan di masyarakat, kinerja bank syariah
tidak sebaik kinerja bank konvensional, hal ini bisa berakibat kurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah.
Persoalan masyarakat muslim Indonesia yang masih memiliki
pengetahuan kurang baik tentang bank syariah sangatlah menjemukan, dimana
negara yang mayoritas beragama Islam ini mereka masih banyak yang beranggapan
bahwa sistem bunga pada bank konvensional dan sistem bagi hasil pada bank
syariah merupakan sistem yang sama, sehingga masyarakat lebih memilih
menggunakan jasa perbankan konvensional
yang dinilai telah berpengalaman dalam menjalankan usaha perbankan walaupun
sebenarnya perbankan konvensional memberikan sesuatu yang negatif pada
nasabahnya, naik dari segi dunia maupun akhirat. Undang-undang perbankan
syariah yang telah disahkan oleh DPR membawa angin pencerahan bagi sistem
perbankan syariah sehingga penerapan konsep ekonomi syariah dapat menjadi
konsep yang jelas dalam membangun sistem ekonomi kerakyatan yang berorientasi
syariah.
Perkembangan Bank Syariah di Indonesia kini telah menjadi
tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Bank Muamalat sebagai bank
syariah pertama dan menjadi pioneer bagi bank syariah yang lainnya telah lebih
dahulu menerapkan sistem ini ditengah menjamurnya bank-bank konvensional.
Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 telah menenggelamkan bank-bank
konvensional dan banyak di likuidasi karena kegagalan sistem bunganya,
sementara perbankan yang menerapkan sistem syariah dapat tetap eksis dan mampu
bertahan.
Tidak hanya itu di tengah-tengah krisis keuangan global
yang melanda dunia pada ujung akhir tahun 2008, lembaga keuangan syariah
kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis. Lembaga-lembaga keuangan
syariah tetap stabil dan memberikan keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi
para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan
dana di bank-bank syariah.
Hal ini dapat dibuktikan dari keberhasilan bank muamalat
melewati krisis yang terjadi pada tahun 1998 dengan menunjukkan kinerja yang
semakin meningkat dan tidak menerima sepeserpun bantuan dari pemerintah dan
pada krisis keuangan pada tahun 2008, bank muamalat bahkan mampu memperoleh
laba Rp 300 miliar lebih.
Perbankan Syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum
ini untuk menunjukkan bahwa perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal
krisis dan mampu tumbuh dengan signifikan. Oleh karena itu perlu
langkah-langkah strategis untuk merealisasikannya.
Langkah strategis pengembangan perbankan syariah yang
telah di upayakan adalah pemberian izin kepada bank umum konvensional untuk
membuka kantor cabang Unit Usaha Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank
konvensional menjadi bank syariah. Langkah strategis ini merupakan respon dan
inisiatif dari perubahan Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998. Undang-undang
pengganti UU no.7 tahun 1992 tersebut mengatur dengan jelas landasan hukum dan
jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan di implementasikan oleh bank
syariah.
Tabel Perkembangan Bank
Syariah Indonesia
Indikasi
|
1998
KP/UUS
|
2003
KP/UUS
|
2004
KP/UUS
|
2005
KP/UUS
|
2006
KP/UUS
|
2007
KP/UUS
|
2008
KP/UUS
|
2009
KP/UUS
|
BUS
|
1
|
2
|
3
|
3
|
3
|
3
|
5
|
6
|
UUS
|
-
|
8
|
15
|
19
|
20
|
25
|
27
|
25
|
BPRS
|
76
|
84
|
88
|
92
|
105
|
1114
|
131
|
139
|
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2009
Keterangan:
BUS
= Bank Umum Syariah
UUS
= Unit Usaha Syariah
BPRS
= Bank Perkreditan Rakyat Syariah
KP/UUS = Kantor Pusat/Unit
Usaha Syariah
Tabel diatas menunjukkan perkembangan perbankan syariah
berdasarkan laporan tahunan BI 2009 (Desember 2009) serta kuantitas, pencapaian
perbankan syariah sungguh membanggakan dan terus mengalami peningkatan dalam
jumlah bank. Jika pada tahun 1998 hanya ada satu Bank Umum Syariah dan 76 Bnak
Perkreditan Rakyat Syariah, maka pada Desember 2009 (berdasarkan data Statistik
Perbankan Syariah yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia) jumlah bank syariah
telah mencapai 31 unit yang terdiri atas 6 Bank Umu Syariah dan 25 Unit Usaha
Syariah. Selain itu, jumlah Bank perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) telah
mencapai 139 unit pada periode yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar