Rabu, 14 Maret 2018

Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia



Sejarah perbankan syariah di Indonesia
Meskipun masyarakat Indonesia adalah masyarakat muslim terbesar di dunia, diskusi pendirian bank berbasis Islam baru muncul pada awal tahun 1980-an.  Dan baru pada 18-20 Aguatus 1990, prakarsa untuk mendirikan bank syariah dilakukan oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI).
Namun sebenarnya jauh sebelum itu, pada 1940-an KH. Mas Mansyur sebagai ketua pengurus besar Muhammadiyyah periode 1937-1944 mengeluarkan pendapatnya mengenai penggunaan jasa bank konvensional yang terpaksa dilakukan karena umat islam belum mempunyai lembaga keuangan sendiri yang bebas riba. Kemudian pada 1970-an
, gagasan pendirian bank syariah mulai gencar kembali. yakni pada “Seminar Hubungan Indonesia- Timur Tengah” yang diadakan oleh Lembaga Studi Ilmu Ilmu Kemasyarakatan dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika pada tahun 1974 dan 1976.
Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki Perbankan Islam mulai sejak itu, seiring munculnya kesadaran kaum Intelektual dan cendikiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan mengenai hukum bunga bank dan hukum zakat dengan pajak dikalangan para ulama, cendikiawan, dan intelektual muslim. Namun, gagasan yang diperjuangkan oleh kaum intelektual dan cedikiawan muslim tersebut tidak berjalan lancar sesuai yang telah direncanakan karena adanya faktor penghambat dari pendirian Bank Islam tersebut.
Awal tahun 1980-an, digelar lagi diskusi yang bertemakan Bank Syariah sebagai pilar ekonomi Islam.Diantara tokoh yang terlibat adalah Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, A. M. Saefuddin, dan M. Amien Azis. Sebagai uji coba gagasan perbankan Islam dipraktikkan dalam skala relatif terbatas. Di Bandung, pada lembaga Bait At-Tamwil Slaman ITB dan di Jakarta pada Koperasi Ridho Gusti. Sehingga M. Darwam menulis dalam sebuah buku tentang Bank Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan bunga (riba), serta menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pemgembangan usaha ekonomi masyarakat yaitu dengan menerapkan sistem mudharabah, musyarakah dan murabahah.
Upaya intensif pendirian Bank Islam/ Bank Syariah di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu saat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang mengatur deregulasi industri perbankan di Indonesia. Setelah adanya rekomendasi lokakarya ulama tentang Bunga Bank di Cisarua pada 19-22 Agustus 1990, yang kemudian diikuti dengan lahirnya UU No. 7/1992 tentang perbankan dimana bagi-hasil mulai diakomodasikan, maka berdirilah Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang merupakan bank umum Islam pertama yang beroperasi di Indonesia. Pembentukan BMI ini diikuti oleh pendirian bank-bank Perkreditan rakyat Syariah (BPRS). Namun karena lembaga ini masih dirasakan kurang mencukupi dan belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah, maka dibangunlah lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut Bait al Maal wat Tamwil (BMT) atau Bait al Qiradh menurut masyarakat Aceh.
Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Rintisan praktek Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Aziz. Sebagai Uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gush). Sebagai gambaran, M Dawan Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18-20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22-25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud tersebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain sesama anggota OKI. Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan realisasi konsep bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi keterlambatan pendirian Bank Islam di Indonesia karenapolitical-will belum mendukung.
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja tim perbankan MUI. Akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditanda tangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat penanda tanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak 84 miliar. Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara silahturahmi Presiden di Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Dalam modal awal tersebut pada tanggal 1 Mei 1992, Bank muamalat indonesia telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makasar.
Pada awal pendirian Bank Muamalat di Indonesia, keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah ini hanya dikategorikan sebagai “bank dengan sistem bagi hasil”: tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU No. 7 tahun 1992, dimana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan merupakan “sisipan” belaka.
Selanjutnya sampai di undangkannya Undang-undang No.10 tahin 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu bediri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh.
Konsep ekonomi syariah ini diyakini menjadi sistem imun” yang efektif contohnya Bank Muamalat Indonesia yang tidak terpengruh oleh gejolak krisis ekonomi ternyata menarik minat pihak perbankan konvensional untuk mendirikan bank yang juga memakai sistem syariah. Pada tahun 1999, perbankan syariah berkembang luas dan menjadi internasional pada tahun 2004. Dengan perkembangan yang cukup signifikan ini, perbankan syariah nantinya diharapkan dapat menjadi salah satu pancang perekonomian Indonesia yang kuat dan menjadi solusi terbaik terhadap permasalahan-permasalahan perekonomian yang ada di masyarakat saat ini , terutama bagi mereka yang memiliki usaha kecil dan menengah, yang sangat membutuhkan pinjaman dana untuk usahanya.
Dibalik perkembangan perbankan syariah yang dinilai cukup baik, ternyata perbankan syariah masih memiliki beberapa permasalahan. Permasalahan datang dari internal perbankan syariah itu sendiri. Perkembangan perbankan syariah yang baik tidak diimbangi dengan pengetahuan dan pemahaman yang baik dari karyawan perbankan syariah terhadap perbankan syariah dan ekonomi islam. Sehingga adanya anggapan di masyarakat, kinerja bank syariah tidak sebaik kinerja bank konvensional, hal ini bisa berakibat kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah.
Persoalan masyarakat muslim Indonesia yang masih memiliki pengetahuan kurang baik tentang bank syariah sangatlah menjemukan, dimana negara yang mayoritas beragama Islam ini mereka masih banyak yang beranggapan bahwa sistem bunga pada bank konvensional dan sistem bagi hasil pada bank syariah merupakan sistem yang sama, sehingga masyarakat lebih memilih menggunakan jasa perbankan  konvensional yang dinilai telah berpengalaman dalam menjalankan usaha perbankan walaupun sebenarnya perbankan konvensional memberikan sesuatu yang negatif pada nasabahnya, naik dari segi dunia maupun akhirat. Undang-undang perbankan syariah yang telah disahkan oleh DPR membawa angin pencerahan bagi sistem perbankan syariah sehingga penerapan konsep ekonomi syariah dapat menjadi konsep yang jelas dalam membangun sistem ekonomi kerakyatan yang berorientasi syariah.
Perkembangan Bank Syariah di Indonesia kini telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer bagi bank syariah yang lainnya telah lebih dahulu menerapkan sistem ini ditengah menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak di likuidasi karena kegagalan sistem bunganya, sementara perbankan yang menerapkan sistem syariah dapat tetap eksis dan mampu bertahan.
Tidak hanya itu di tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia pada ujung akhir tahun 2008, lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis. Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan memberikan keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana di bank-bank syariah.
Hal ini dapat dibuktikan dari keberhasilan bank muamalat melewati krisis yang terjadi pada tahun 1998 dengan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan tidak menerima sepeserpun bantuan dari pemerintah dan pada krisis keuangan pada tahun 2008, bank muamalat bahkan mampu memperoleh laba Rp 300 miliar lebih.
Perbankan Syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk menunjukkan bahwa perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan mampu tumbuh dengan signifikan. Oleh karena itu perlu langkah-langkah strategis untuk merealisasikannya.
Langkah strategis pengembangan perbankan syariah yang telah di upayakan adalah pemberian izin kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang Unit Usaha Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank konvensional menjadi bank syariah. Langkah strategis ini merupakan respon dan inisiatif dari perubahan Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998. Undang-undang pengganti UU no.7 tahun 1992 tersebut mengatur dengan jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan di implementasikan oleh bank syariah.
Tabel Perkembangan Bank Syariah Indonesia
Indikasi
1998
KP/UUS
2003
KP/UUS
2004
KP/UUS
2005
KP/UUS
2006
KP/UUS
2007
KP/UUS
2008
KP/UUS
2009
KP/UUS
BUS
1
2
3
3
3
3
5
6
UUS
-
8
15
19
20
25
27
25
BPRS
76
84
88
92
105
1114
131
139
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2009
Keterangan:
BUS              = Bank Umum Syariah
UUS              = Unit Usaha Syariah
BPRS            = Bank Perkreditan Rakyat Syariah
KP/UUS       = Kantor Pusat/Unit Usaha Syariah
Tabel diatas menunjukkan perkembangan perbankan syariah berdasarkan laporan tahunan BI 2009 (Desember 2009) serta kuantitas, pencapaian perbankan syariah sungguh membanggakan dan terus mengalami peningkatan dalam jumlah bank. Jika pada tahun 1998 hanya ada satu Bank Umum Syariah dan 76 Bnak Perkreditan Rakyat Syariah, maka pada Desember 2009 (berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia) jumlah bank syariah telah mencapai 31 unit yang terdiri atas 6 Bank Umu Syariah dan 25 Unit Usaha Syariah. Selain itu, jumlah Bank perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) telah mencapai 139 unit pada periode yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar