Saya teringat tentang kisah ini
beberapa hari yang lalu, tapi karena saya tidak segera menulisnya akhirnya saya lupa tentang kisah
ini. Saya hanya ingat akan menulis ‘sesuatu’ tapi apa itu dan bagaimana
alurnya, saya sama sekali tak mampu mengingatnya. Dan hal yang seperti itu
membuat saya sangat jengkel, berhari-hari mencoba mengingat sesuatu yang
menarik – saya yakin menarik – tapi tak juga dapat mengingatnya.
Kemudian kemaren saya membaca buku
lalu menjumpai kata “timbangan” atau “menimbang” atau apalah. Dan saya
mengingat semuanya, tentang kisah yang ingin saya tulis berhari-hari yang lalu,
yang saya lupakan hingga membuat saya geram sendiri.
Ini sebuah kisah klasik yang
membuat saya tertarik untuk menulisnya. Setidaknya, dengan saya menulis ini
saya tidak lagi merasa jengkel terhadap diri saya sendiri.
****
Suatu hari di desa yang belum
terjamah teknologi, dalam kehidupan pedesaan yang amat sederhana dengan
ladang-ladang gandum dan orang-orang yang ramah. Seorang pedagang tepung
mengadu kepada hakim bahwa ada seorang pedagang roti yang berlaku curang pada
timbangannya.
“pak hakim, tolong berikan hukuman
padanya karena telah berlaku curang dalam berdagang” kata si penjual tepung.
“bagaimana kau bisa membuktikan
bahwa penjual roti mencurangi dagangannya?” tanya hakim.
“beberapa hari yang lalu saya
membeli roti kepadanya dalam jumlah satu kilo, kemudian setelah sampai rumah
saya menimbang roti tersebut. Tetapi tuan hakim, ternyata timbangannya kurang
dari satu kilo” jelas penjual tepung.
“oh, berarti penjual roti memang
bersalah” ujar hakim “pak penjual roti, apa anda mengakui apa yang telah
dituduhkan penjual tepung kepada anda?”
“tuan hakim, saya ini hanya penjual
roti sederhana yang tak menginginkan apapun. Dan saya ini penjual roti yang
miskin yang bahkan tidak mampu membeli timbangan untuk menimbang roti-roti yang
saya jual” jelas penjual roti.
“lalu bagaimana anda menimbang roti
anda?” tanya hakim
“itu mudah tuan hakim, sebelum saya
mebuat roti saya membutuhkan tepung, jadi saya membeli beberapa kilo tepung
dari penjual tepung. Sebelum saya membelinya, tepung itu telah berada dalam
kantong-kantong dengan ukuran satu kilo gram. Saat saya membeli tepung, penjual
langsung memberikan kantong-kantong itu, dan kata si penjual, tepung-tepungnya
memang seberat satu kilo gram setiap kantong” jelas si penjual roti “setelah
saya membuat roti saya memotongnya dengan timbangan satu kantong tepung yang
telah saya sisihkan sebelumnya, dengan begitulah saya dapat menjual roti-roti
saya dalam ukuran satu kilo gram setiap potongnya”
“jadi anda tidak bersalah” kata
hakim “dimana anda membeli tepung itu?”
“di tempat penjual tepung yang
sekarang ini sedang melaporkan saya” ujar penjual roti.
****
Dari kisah tersebut ada pengajaran
yang begitu mendalam. Sebuah pengajaran tentang bagaimana mudahnya kita
menyalahkan seseorang dengan tanpa menyadari apa yang ada pada diri kita
sendiri adalah salah.
Kisah ini juga mengingatkan saya
tentang sebuah istilah atau dalam bahasa indonesia disebut ‘pribahasa’ yang
berbunyi “kuman di seberang lautan namak jelas, gajah dipelupuk mata tiada
nampak” yang kira-kira berarti kita ini dapat dengan mudah melihat kesalahan
orang lain meski hanya kesalahan kecil, sedangkan kesalahan sendiri yang
teramat besar tak begitu diperhatikan.
Seperti itulah cara pandang kita –
jika ada yang tersinggung, maka itu lebih baik. Karena dengan tulisan ini saya
mengajak kita semua – itu berarti termasuk saya – untuk lebih banyak
introspeksi diri sebelum berucap hal yang tidak pantas tentang orang lain. Jika
tidak bisa introspeksi diri, setidaknya kita mulai dengan berprasangka baik
terhadap orang lain.
Semoga kita semua dapat sedikit
demi sedikit berubah menjadi pribadi yang lebih baik – Amin –
Terimakasih, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar