Kamis, 20 Juli 2017

PENJUAL ROTI DAN TEPUNG




Saya teringat tentang kisah ini beberapa hari yang lalu, tapi karena saya tidak segera  menulisnya akhirnya saya lupa tentang kisah ini. Saya hanya ingat akan menulis ‘sesuatu’ tapi apa itu dan bagaimana alurnya, saya sama sekali tak mampu mengingatnya. Dan hal yang seperti itu membuat saya sangat jengkel, berhari-hari mencoba mengingat sesuatu yang menarik – saya yakin menarik – tapi tak juga dapat mengingatnya.
Kemudian kemaren saya membaca buku lalu menjumpai kata “timbangan” atau “menimbang” atau apalah. Dan saya mengingat semuanya, tentang kisah yang ingin saya tulis berhari-hari yang lalu, yang saya lupakan hingga membuat saya geram sendiri.
Ini sebuah kisah klasik yang membuat saya tertarik untuk menulisnya. Setidaknya, dengan saya menulis ini saya tidak lagi merasa jengkel terhadap diri saya sendiri.
****
Suatu hari di desa yang belum terjamah teknologi, dalam kehidupan pedesaan yang amat sederhana dengan ladang-ladang gandum dan orang-orang yang ramah. Seorang pedagang tepung mengadu kepada hakim bahwa ada seorang pedagang roti yang berlaku curang pada timbangannya.
“pak hakim, tolong berikan hukuman padanya karena telah berlaku curang dalam berdagang” kata si penjual tepung.

“bagaimana kau bisa membuktikan bahwa penjual roti mencurangi dagangannya?” tanya hakim.
“beberapa hari yang lalu saya membeli roti kepadanya dalam jumlah satu kilo, kemudian setelah sampai rumah saya menimbang roti tersebut. Tetapi tuan hakim, ternyata timbangannya kurang dari satu kilo” jelas penjual tepung.
“oh, berarti penjual roti memang bersalah” ujar hakim “pak penjual roti, apa anda mengakui apa yang telah dituduhkan penjual tepung kepada anda?”
“tuan hakim, saya ini hanya penjual roti sederhana yang tak menginginkan apapun. Dan saya ini penjual roti yang miskin yang bahkan tidak mampu membeli timbangan untuk menimbang roti-roti yang saya jual” jelas penjual roti.
“lalu bagaimana anda menimbang roti anda?” tanya hakim
“itu mudah tuan hakim, sebelum saya mebuat roti saya membutuhkan tepung, jadi saya membeli beberapa kilo tepung dari penjual tepung. Sebelum saya membelinya, tepung itu telah berada dalam kantong-kantong dengan ukuran satu kilo gram. Saat saya membeli tepung, penjual langsung memberikan kantong-kantong itu, dan kata si penjual, tepung-tepungnya memang seberat satu kilo gram setiap kantong” jelas si penjual roti “setelah saya membuat roti saya memotongnya dengan timbangan satu kantong tepung yang telah saya sisihkan sebelumnya, dengan begitulah saya dapat menjual roti-roti saya dalam ukuran satu kilo gram setiap potongnya”
“jadi anda tidak bersalah” kata hakim “dimana anda membeli tepung itu?”
“di tempat penjual tepung yang sekarang ini sedang melaporkan saya” ujar penjual roti.
****
Dari kisah tersebut ada pengajaran yang begitu mendalam. Sebuah pengajaran tentang bagaimana mudahnya kita menyalahkan seseorang dengan tanpa menyadari apa yang ada pada diri kita sendiri adalah salah.
Kisah ini juga mengingatkan saya tentang sebuah istilah atau dalam bahasa indonesia disebut ‘pribahasa’ yang berbunyi “kuman di seberang lautan namak jelas, gajah dipelupuk mata tiada nampak” yang kira-kira berarti kita ini dapat dengan mudah melihat kesalahan orang lain meski hanya kesalahan kecil, sedangkan kesalahan sendiri yang teramat besar tak begitu diperhatikan.
Seperti itulah cara pandang kita – jika ada yang tersinggung, maka itu lebih baik. Karena dengan tulisan ini saya mengajak kita semua – itu berarti termasuk saya – untuk lebih banyak introspeksi diri sebelum berucap hal yang tidak pantas tentang orang lain. Jika tidak bisa introspeksi diri, setidaknya kita mulai dengan berprasangka baik terhadap orang lain.
Semoga kita semua dapat sedikit demi sedikit berubah menjadi pribadi yang lebih baik – Amin
Terimakasih, semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar