“senyummu seperti mentari pagi, begitu hangat...”
“J.”
. . .
“dari siapa Syna?”
ucap Mentari dari belakang -Sebisa mungkin aku menyembunyikan senyum- “nggak
tau nih, pos card mingguan. Tiap selasa pasti udah ada di kafe. Udah ya,
aku buru-buru entar si bos marah bisa bahaya” jelasku sambil melarikan diri
dari sahabat yang paling cerewet di muka bumi ini. “cieee, yang punya penggemar
rahasia” katanya setengah berteriak.
Aku tak pernah
tau dari siapa pos card – pos card itu dikirim dan bagaimana ‘dia’ bisa
mengirimkan itu ke kafe ini tanpa ada yang mengetahui. Nama penerima memang
jelas namaku, tapi kenapa harus di kirim ke kafe, kenapa tidak ke rumah atau ke
kampus atau kemana saja. Dan kenapa pos card itu dikirim setiap hari
selasa? Seperti kemarin saat aku baru sampai di kafe, teman yang bekerja di kafe
yang sama denganku langsung memberiku pos card.
“Nathan, kamu
lagi ngapain? Serius amat” tanyaku pada salah seorang pelanggan yang
“kebetulan” juga teman sekelasku dan “kebetulan” juga tiap hari nongkrong di kafe
ini. ah, bukan kebetulan, kafe ini memang cocok untuk nongkrong, free wifi
seperti kebanyakan kafe lainnya ditambah tata ruang yang bernuansa “home
sweet home”. Itu kenapa aku sendiri juga betah lama-lama nongkrong di kafe
ini meski jam kerjaku sudah selesai.
“nggak, ini lagi
design web buat perusahaan olshop”
“oh... so, cappuchino,
americano, latte atau apa?”
“hot americano
please..”
“ok, anything
else sir?”
“i’ll tell you
leter”
...............................
Ini sudah pukul
sebelas malam, kafe sudah sepi dan bahkan sudah tutup. Aku sudah di rumah, di teras
atap tepatnya, malam ini tak terlalu dingin, angin berhembus tak terlalu
kencang, suasana yang pas untuk membuka satu persatu pos card yang
kuterima sejak dua bulan lalu. “dia” terlihat romantis, kata-katanya
menyentuh dan misterius. Tapi jika kufikir-fikir aku tidak dekat dengan cowok
manapun, tidak dengan teman sekelasku di kampus, atau teman kerja, atau siapapun,
jadi bagaimana bisa dia tau banyak tentangku? Ah, aku bisa mati penasaran jika
tak segera tahu siapa pengirim pos card ini.
“Tari, ke
rumahku gih, sekarang. Ada yang pengen aku omongin” aku menelpon Mentari.
. . .
“Oh, jadi kamu
penasaran sama yang ngirimin pos card? Apa jangan-jangan kamu suka sama dia?
So sweet banget sih... jatuh cinta sama penggemar rahasia cuma karna
baca tulisan di pos card, kaya adegan drama gitu. Lagi pula ini memang waktu
yang cukup tepat setelah delapan bulan tak ada kabar dari Arian”
“Tari, tolong
jangan ungkit masalah itu lagi. Yang penting sekarang bagaimana caranya kita
tau siapa yang mengirim pos card ini”
“okey okey,
kita mulai dari siapa yang mungkin menyukaimu dari orang-orang yang dekat.
Teman sekelas dengan inisial J, Jack, Julian, Jhonny, Jimmy. Atau teman
kerjamu, Joshua”
“kayaknya nggak
deh, aku tuh nggak deket sama siapapun. Dan kalo bener dia salah satu
dari mereka, gimana bisa dia suka sama aku?”
“ya ampun Syna,
gini ya sayang... kalo orang yang deket aja nggak mungkin apalagi yang jauh?Ini
logika sederhana Na... mungkin aja dia kena mantra orang jawa ‘trisno
jalaran soko kulino’ kamu emang nggak deket sama cowok-cowok tapi kan kamu
ramah sama siapa aja, bisa jadi kan?”
“iya sih”
“tapi kalo
semua cowok yang J itu kamu nggak kepikiran sama sekali, besok kita minta
tolong Nathan aja. Dia mah jago kalo nyelidikin kaya gituan. Eh, apa mungkin Jhonny yang ngirimin kamu pos card? Jack sama
Jimmy kan udah punya pacar, Julian kan aktivis yang kayaknya nggak mikirin
pacaran, nah tinggal Jhonny kan kemungkinannya?”
“belum tentu,
dia terlalu sibuk sama bisnis barunya. Ah, nggak tau lah, kita liat aja nanti”
“ok, jadi fix
besok minta tolong Nathan ya?”
“terserah”
Malam ini
berlalu dengan segala rasa penasaran yang kubawa hingga terlelap. Semoga besok
adalah hari yang cerah. “Tuhan, aku hidup dengan membawa namamu, dan mati
dengan namamu”. Selamat malam.
...............................
“Syna, minggu
sore kita buat tugas bareng-bareng bisa?”
“bisa. Minggu
aku nggak kerja kok”
“enak ya kalian
sekelompok bisa ngerjain bareng. Aku bareng Evan. Nggak bisa diandelin” sahut Mentari.
“ ya udah sih,
terima aja...” jawabku kemudian melahap sisa spagetty yang sudah dingin
karena asik mengobrol dengan Nathan dan Mentari sedari tadi.
Menit
selanjutnya kita gunakan untuk menghabiskan makanan dan berbincang tentang
hal-hal tolol yang sama sekali tak berarti.
...............................
Riset yang kami
kerjakan tak serumit yang dibayangkan, aku hanya perlu pergi jalan-jalan dan
sedikit mengamati hal-hal yang mungkin berkaitan dengan perilaku pengunjung
taman.
“Syna, kamu
lihat orang bertopi cokelat itu?” tanya Nathan
“ya, pria tiga
puluhan yang berjalan santai. Seperti menunggu orang yang tak pernah datang,
atau mungkin hanya mengenang masa lalu dengan seseorang yang spesial
barangkali. Atau hanya sekedar menikmati waktu sore daripada berdiam diri di
rumah dan tak melakukan apapun, menurutmu yang mana?”
“tidak, mungkin
saja dia mata-mata dari Rusia yang mengamati lingkungan ini, kemudian dalam
beberapa hari kedepan akan ada beberapa bom yang ditanam di taman ini dan
diledakkan dari jarak jauh. Atau mungkin dia sedang mencari korban untuk dia
culik kemudian memotong korbannya menjadi beberapa bagian”
“kamu terlalu
banyak menonton film”
“aku hanya
bercanda. Sekarang kita harus menentukan tiga atau lima objek riset, mengamati
mereka, memberi mereka beberapa pertanyaan kemudian tugas kita disini selesai”
. . . .
Kami sedang
makan siang di sebuah kafe sederhana di dekat taman, baru saja seorang waiter
pergi dari meja kami setelah menyajikan beberapa makanan pesanan kami.
“jadi, selain di
Kafe apa kesibukanmu?” tanya Nathan membuka pembicaraan.
“kufikir
waktuku sudah habis untuk kuliah sedari pagi sampai siang, lalu pergi ke kafe sampai
malam sisanya kugunakan untuk mengerjakan tugas. Tapi terkadang aku menulis
beberapa opini dan kuunggah ke internet. Mungkin opini-opini yang kubuat tak
sebaik blogger lainnya, tapi aku cukup puas karena setidaknya aku melakukan hal
yang berguna di waktu luangku”
“tentu, kamu
benar. Itu jauh lebih baik daripada sekedar mengunggah hal-hal tak penting ke
akun media sosial. Maksudku, apa mereka berpikir semua orang ingin tau
aktivitas mereka? Hal itu sangat tak masuk akal bukan? Lalu bagaimana dengan weekend?
Apa yang biasa kamu lakukan?”
“tak banyak.
Aku mungkin akan menonton TV atau Youtube dan mencari beberapa referensi untuk
bahan opini yang akan kutulis”
“weekend
ini kamu ada janji? Jika tidak sepertinya kamu harus ikut aku ke pesta kembang
api yang diadakan seorang teman di Winiferd Park”
“kenapa harus?”
“karena kamu
pasti menyukainya”
...............................
Dan memang
benar aku menyukai pesta kembang api ini. ini seperti pesta kembang api tahun
baru versi kecil tapi cukup ramai. Pesta kembang api, minuman, makanan kecil
dan atraksi laser diatas panggung kecil di tengah taman. Ini sangat
menyenangkan.
“kalian suka
acaranya?” tanya Nathan kepadaku dan Mentari.
“tentu, ini
sangat menyenangkan. Seperti malam tahun baru” sahut Mentari
“tapi
sebenarnya acara apa ini? apa kalian berniat merubah kalender besok menjadi
satu Januari?” timpalku
“haha... bukan,
ini sebanarnya hanya pesta untuk menunjukkan rasa syukur. Salah seorang temanku
baru saja membuka cabang baru di Ausi dan dia ingin merayakannya, hanya saja
dia tak suka pesta di bar dan dia suka kembang api, menurutnya menyalakan
kembang api tak harus menunggu tahun baru, itu terlalu lama, jadi dia
mengadakan pesta ini”
“wait,
temanmu buka cabang baru? Itu berarti di seorang bos? Goodness,
bagaimana kamu bisa mendapatkan jaringan seluas itu? Awesome!” ujar Tari
“begitulah”
jawab Nathan
“oh ya, dimana
aku bisa menggunakan toilet? Aku sudah menahannya dari setengah jam yang lalu”
“astaga Tari,
kenapa kamu tak bertanya kepadaku sedari tadi?” ujarku
“kufikir kamu
tak tahu”
“memang tidak,
tapi aku bisa membantumu mencarinya”
“toiletnya ada
di sebelah sana” ujar Nathan menengahi kami.
Mentari
langsung berjalan kearah yang ditunjukkan Nathan dan menjauh dari kami.
. . . .
“kamu masih
penasaran dengan pengirim pos card itu?” tanya Nathan
“tidak juga,
aku agak sibuk minggu ini. kau tau, pengunjung Kafe semakin banyak ditambah tugas
kita yang belum selesai”
“aku bisa
mengambil alih jika kau mau”
“tidak, tidak
usah. Tapi tunggu, darimana kau tau tentang pos card? Mentari sudah memberi
tahumu? Sial sekali anak itu. Kenapa dia tidak bilang dulu kepadaku?”
“bukan, bukan
Tari yang memberi tahuku. Aku yang mengirimkan pos card itu”
Aku hanya
menatapnya diam tak bergerak. Tak percaya.
“kau tunggulah
disini” katanya membangunkanku dari diriku yang mematung.
Dia naik ke
panggung kecil itu dan mengucapkan kata-kata yang tak bisa kupahami. Kalimat
terakhirnya masuk ke otakku dengan cepat.
“ini untukmu
Syna” katanya
Dia menepi dari
tengah panggung, membuatku dapat melihat
layar dibelakangnya. Layar itu menampilkan slide-slide satu persatu.
“dirimu seperti
tetesan embun di tengah sahara”
“aku tak
menyadari dan tak pernah tahu dari mana asal rasa ini, atau sedari kapan ia
tumbuh”
“bahkan bunga
tak sepadan dengan kecantikanmu”
“anggun tingkah
lakumu seperti bidadari yang kehilangan sayapnya”
“darimana sinar
di wajahmu itu berasal? purnamapun malu menampakkan diri”
“bagaimana
mungkin aku melihat bintang dilangit jika kau sudah ada di bumi”
“senyummu seperti mentari pagi,
begitu hangat...”
Bukankah itu
isi pos card-pos card yang selama ini kuterima? Jadi benar Nathan yang
mengirimiku pos card selama ini? aku hanya tak habis fikir bagaimana seorang
Nathan yang menjadi mahasiswa terpopuler karena kecerdasan dan sikap diamnya
melakukan hal seperti ini padaku. Dan kenapa aku, sedangkan di kampus ada
ratusan gadis yang siap memberikan segala yang mereka punya hanya untuk kencan
semalam dengan Nathan. Dan bukannya inisial di pos card itu “J”? Astaga!
Namanya bukan hanya Nathan. Namanya Jhonnathan.
“Syna, Do you
wanna be mine?” tanya Nathan membuyarkan analisa bodohku. Dia mengulurkan tangannya
mengundangku naik keatas panggung.
Aku naik
perlahan, kakiku gemetar masih tak percaya. Aku ini sedang mimpi atau apa?
Seseorang memberiku microphone agar aku tak perlu berteriak untuk semua audiences.
“what’s your
answer?” tanya Nathan sekali lagi.
“ I do”
...............................
Sisa malam itu
kami habiskan dengan berbincang di tepi sungai Lámburg, kami bertiga tentunya.
Aku tidak mungkin meninggalkan Mentari demi pacar baruku. Melihat refleksi
lampu kota yang dipantulkan air sungai lalu beberapa kapal feri melintasi
sungai yang sama dan membuyarkan gambar
yang indah itu.
“handphone-mu
berdering dari tadi, kamu tidak mendengarnya?” kata Nathan
“oh, kufikir
malam ini terlalu indah untuk menerima telepon dari orang lain” jawabku
“yah, begitulah
orang yang sedang mabuk cinta” sahut Tari
“angkatlah,
barangkali sesuatu yang penting” timpal Nathan
“seperti Eifel
akan dirobohkan barangkali?” ujarku sambil tersenyum dan sedikit menjauh dari
mereka.
. . . .
“halo, selamat
malam” sapaku sesopan mungkin pada si nomor baru
“Syna, ini Arian”
Aku hanya
terdiam tak menduga dia akan menghubungiku lagi.
-To be
continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar