Rabu, 19 Juli 2017

Kartu Pos (chapter 1)



“senyummu seperti mentari pagi, begitu hangat...”
“J.”
. . .
“dari siapa Syna?” ucap Mentari dari belakang -Sebisa mungkin aku menyembunyikan senyum- “nggak tau nih, pos card mingguan. Tiap selasa pasti udah ada di kafe. Udah ya, aku buru-buru entar si bos marah bisa bahaya” jelasku sambil melarikan diri dari sahabat yang paling cerewet di muka bumi ini. “cieee, yang punya penggemar rahasia” katanya setengah berteriak.
Aku tak pernah tau dari siapa pos card – pos card itu dikirim dan bagaimana ‘dia’ bisa mengirimkan itu ke kafe ini tanpa ada yang mengetahui. Nama penerima memang jelas namaku, tapi kenapa harus di kirim ke kafe, kenapa tidak ke rumah atau ke kampus atau kemana saja. Dan kenapa pos card itu dikirim setiap hari selasa? Seperti kemarin saat aku baru sampai di kafe, teman yang bekerja di kafe yang sama denganku langsung memberiku pos card.

“Nathan, kamu lagi ngapain? Serius amat” tanyaku pada salah seorang pelanggan yang “kebetulan” juga teman sekelasku dan “kebetulan” juga tiap hari nongkrong di kafe ini. ah, bukan kebetulan, kafe ini memang cocok untuk nongkrong, free wifi seperti kebanyakan kafe lainnya ditambah tata ruang yang bernuansa “home sweet home”. Itu kenapa aku sendiri juga betah lama-lama nongkrong di kafe ini meski jam kerjaku sudah selesai.
“nggak, ini lagi design web buat perusahaan olshop
oh... so, cappuchino, americano, latte atau apa?
“hot americano please..”
“ok, anything else sir?”
“i’ll tell you leter”
...............................

Ini sudah pukul sebelas malam, kafe sudah sepi dan bahkan sudah tutup. Aku sudah di rumah, di teras atap tepatnya, malam ini tak terlalu dingin, angin berhembus tak terlalu kencang, suasana yang pas untuk membuka satu persatu pos card yang kuterima sejak dua bulan lalu. “dia” terlihat romantis, kata-katanya menyentuh dan misterius. Tapi jika kufikir-fikir aku tidak dekat dengan cowok manapun, tidak dengan teman sekelasku di kampus, atau teman kerja, atau siapapun, jadi bagaimana bisa dia tau banyak tentangku? Ah, aku bisa mati penasaran jika tak segera tahu siapa pengirim pos card ini.
“Tari, ke rumahku gih, sekarang. Ada yang pengen aku omongin” aku menelpon Mentari.
. . .
“Oh, jadi kamu penasaran sama yang ngirimin pos card? Apa jangan-jangan kamu suka sama dia? So sweet banget sih... jatuh cinta sama penggemar rahasia cuma karna baca tulisan di pos card, kaya adegan drama gitu. Lagi pula ini memang waktu yang cukup tepat setelah delapan bulan tak ada kabar dari Arian”
“Tari, tolong jangan ungkit masalah itu lagi. Yang penting sekarang bagaimana caranya kita tau siapa yang mengirim pos card ini”
“okey okey, kita mulai dari siapa yang mungkin menyukaimu dari orang-orang yang dekat. Teman sekelas dengan inisial J, Jack, Julian, Jhonny, Jimmy. Atau teman kerjamu, Joshua”
“kayaknya nggak deh, aku tuh nggak deket sama siapapun. Dan kalo bener dia salah satu dari mereka, gimana bisa dia suka sama aku?”
“ya ampun Syna, gini ya sayang... kalo orang yang deket aja nggak mungkin apalagi yang jauh?Ini logika sederhana Na... mungkin aja dia kena mantra orang jawa ‘trisno jalaran soko kulino’ kamu emang nggak deket sama cowok-cowok tapi kan kamu ramah sama siapa aja, bisa jadi kan?”
“iya sih”
“tapi kalo semua cowok yang J itu kamu nggak kepikiran sama sekali, besok kita minta tolong Nathan aja. Dia mah jago kalo nyelidikin kaya gituan. Eh, apa mungkin Jhonny  yang ngirimin kamu pos card? Jack sama Jimmy kan udah punya pacar, Julian   kan aktivis yang kayaknya nggak mikirin pacaran, nah tinggal Jhonny kan kemungkinannya?”
“belum tentu, dia terlalu sibuk sama bisnis barunya. Ah, nggak tau lah, kita liat aja nanti”
“ok, jadi fix besok minta tolong Nathan ya?”
“terserah”
Malam ini berlalu dengan segala rasa penasaran yang kubawa hingga terlelap. Semoga besok adalah hari yang cerah. “Tuhan, aku hidup dengan membawa namamu, dan mati dengan namamu”. Selamat malam.
...............................

“Syna, minggu sore kita buat tugas bareng-bareng bisa?”
“bisa. Minggu aku nggak kerja kok”
“enak ya kalian sekelompok bisa ngerjain bareng. Aku bareng Evan. Nggak bisa diandelin” sahut Mentari.
“ ya udah sih, terima aja...” jawabku kemudian melahap sisa spagetty yang sudah dingin karena asik mengobrol dengan Nathan dan Mentari sedari tadi.
Menit selanjutnya kita gunakan untuk menghabiskan makanan dan berbincang tentang hal-hal tolol yang sama sekali tak berarti.
...............................

Riset yang kami kerjakan tak serumit yang dibayangkan, aku hanya perlu pergi jalan-jalan dan sedikit mengamati hal-hal yang mungkin berkaitan dengan perilaku pengunjung taman.
“Syna, kamu lihat orang bertopi cokelat itu?” tanya Nathan
“ya, pria tiga puluhan yang berjalan santai. Seperti menunggu orang yang tak pernah datang, atau mungkin hanya mengenang masa lalu dengan seseorang yang spesial barangkali. Atau hanya sekedar menikmati waktu sore daripada berdiam diri di rumah dan tak melakukan apapun, menurutmu yang mana?”
“tidak, mungkin saja dia mata-mata dari Rusia yang mengamati lingkungan ini, kemudian dalam beberapa hari kedepan akan ada beberapa bom yang ditanam di taman ini dan diledakkan dari jarak jauh. Atau mungkin dia sedang mencari korban untuk dia culik kemudian memotong korbannya menjadi beberapa bagian”
“kamu terlalu banyak menonton film”
“aku hanya bercanda. Sekarang kita harus menentukan tiga atau lima objek riset, mengamati mereka, memberi mereka beberapa pertanyaan kemudian tugas kita disini selesai”
. . . .
Kami sedang makan siang di sebuah kafe sederhana di dekat taman, baru saja seorang waiter pergi dari meja kami setelah menyajikan beberapa makanan pesanan kami.
“jadi, selain di Kafe apa kesibukanmu?” tanya Nathan membuka pembicaraan.
“kufikir waktuku sudah habis untuk kuliah sedari pagi sampai siang, lalu pergi ke kafe sampai malam sisanya kugunakan untuk mengerjakan tugas. Tapi terkadang aku menulis beberapa opini dan kuunggah ke internet. Mungkin opini-opini yang kubuat tak sebaik blogger lainnya, tapi aku cukup puas karena setidaknya aku melakukan hal yang berguna di waktu luangku”
“tentu, kamu benar. Itu jauh lebih baik daripada sekedar mengunggah hal-hal tak penting ke akun media sosial. Maksudku, apa mereka berpikir semua orang ingin tau aktivitas mereka? Hal itu sangat tak masuk akal bukan? Lalu bagaimana dengan weekend? Apa yang biasa kamu lakukan?”
“tak banyak. Aku mungkin akan menonton TV atau Youtube dan mencari beberapa referensi untuk bahan opini yang akan kutulis”
weekend ini kamu ada janji? Jika tidak sepertinya kamu harus ikut aku ke pesta kembang api yang diadakan seorang teman di Winiferd Park”
“kenapa harus?”
“karena kamu pasti menyukainya”
...............................

Dan memang benar aku menyukai pesta kembang api ini. ini seperti pesta kembang api tahun baru versi kecil tapi cukup ramai. Pesta kembang api, minuman, makanan kecil dan atraksi laser diatas panggung kecil di tengah taman. Ini sangat menyenangkan.
“kalian suka acaranya?” tanya Nathan kepadaku dan Mentari.
“tentu, ini sangat menyenangkan. Seperti malam tahun baru” sahut Mentari
“tapi sebenarnya acara apa ini? apa kalian berniat merubah kalender besok menjadi satu Januari?” timpalku
haha... bukan, ini sebanarnya hanya pesta untuk menunjukkan rasa syukur. Salah seorang temanku baru saja membuka cabang baru di Ausi dan dia ingin merayakannya, hanya saja dia tak suka pesta di bar dan dia suka kembang api, menurutnya menyalakan kembang api tak harus menunggu tahun baru, itu terlalu lama, jadi dia mengadakan pesta ini”
wait, temanmu buka cabang baru? Itu berarti di seorang bos? Goodness, bagaimana kamu bisa mendapatkan jaringan seluas itu? Awesome!” ujar Tari
“begitulah” jawab Nathan
“oh ya, dimana aku bisa menggunakan toilet? Aku sudah menahannya dari setengah jam yang lalu”
“astaga Tari, kenapa kamu tak bertanya kepadaku sedari tadi?” ujarku
“kufikir kamu tak tahu”
“memang tidak, tapi aku bisa membantumu mencarinya”
“toiletnya ada di sebelah sana” ujar Nathan menengahi kami.
Mentari langsung berjalan kearah yang ditunjukkan Nathan dan menjauh dari kami.
. . . .
“kamu masih penasaran dengan pengirim pos card itu?” tanya Nathan
“tidak juga, aku agak sibuk minggu ini. kau tau, pengunjung Kafe semakin banyak ditambah tugas kita yang belum selesai”
“aku bisa mengambil alih jika kau mau”
“tidak, tidak usah. Tapi tunggu, darimana kau tau tentang pos card? Mentari sudah memberi tahumu? Sial sekali anak itu. Kenapa dia tidak bilang dulu kepadaku?”
“bukan, bukan Tari yang memberi tahuku. Aku yang mengirimkan pos card itu”
Aku hanya menatapnya diam tak bergerak. Tak percaya.
“kau tunggulah disini” katanya membangunkanku dari diriku yang mematung.
Dia naik ke panggung kecil itu dan mengucapkan kata-kata yang tak bisa kupahami. Kalimat terakhirnya masuk ke otakku dengan cepat.
“ini untukmu Syna” katanya
Dia menepi dari tengah panggung, membuatku dapat  melihat layar dibelakangnya. Layar itu menampilkan slide-slide satu persatu.

“dirimu seperti tetesan embun di tengah sahara”
“aku tak menyadari dan tak pernah tahu dari mana asal rasa ini, atau sedari kapan ia tumbuh”
“bahkan bunga tak sepadan dengan kecantikanmu”
“anggun tingkah lakumu seperti bidadari yang kehilangan sayapnya”
“darimana sinar di wajahmu itu berasal? purnamapun malu menampakkan diri”
“bagaimana mungkin aku melihat bintang dilangit jika kau sudah ada di bumi”
“senyummu seperti mentari pagi, begitu hangat...”

Bukankah itu isi pos card-pos card yang selama ini kuterima? Jadi benar Nathan yang mengirimiku pos card selama ini? aku hanya tak habis fikir bagaimana seorang Nathan yang menjadi mahasiswa terpopuler karena kecerdasan dan sikap diamnya melakukan hal seperti ini padaku. Dan kenapa aku, sedangkan di kampus ada ratusan gadis yang siap memberikan segala yang mereka punya hanya untuk kencan semalam dengan Nathan. Dan bukannya inisial di pos card itu “J”? Astaga! Namanya bukan hanya Nathan. Namanya Jhonnathan.
“Syna, Do you wanna be mine?” tanya Nathan membuyarkan analisa bodohku. Dia mengulurkan tangannya mengundangku naik keatas panggung.
Aku naik perlahan, kakiku gemetar masih tak percaya. Aku ini sedang mimpi atau apa? Seseorang memberiku microphone agar aku tak perlu berteriak untuk semua audiences.
“what’s your answer?” tanya Nathan sekali lagi.

“ I do”
...............................
Sisa malam itu kami habiskan dengan berbincang di tepi sungai Lámburg, kami bertiga tentunya. Aku tidak mungkin meninggalkan Mentari demi pacar baruku. Melihat refleksi lampu kota yang dipantulkan air sungai lalu beberapa kapal feri melintasi sungai yang sama dan membuyarkan  gambar yang indah itu.
handphone-mu berdering dari tadi, kamu tidak mendengarnya?” kata Nathan
“oh, kufikir malam ini terlalu indah untuk menerima telepon dari orang lain” jawabku
“yah, begitulah orang yang sedang mabuk cinta” sahut Tari
“angkatlah, barangkali sesuatu yang penting” timpal Nathan
“seperti Eifel akan dirobohkan barangkali?” ujarku sambil tersenyum dan sedikit menjauh dari mereka.
. . . .
“halo, selamat malam” sapaku sesopan mungkin pada si nomor baru
“Syna, ini Arian”
Aku hanya terdiam tak menduga dia akan menghubungiku lagi.

-To be continued-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar