Selasa, 06 Juni 2017

ASURANSI SEBAGAI PENGALIH RISIKO





~ PENDAHULUAN ~

Dewasa ini banyak orang yang mulai memahami dan menerima pengalihan risiko kepada asuransi. Hal ini dilakukan dengan harapan seseorang dapat menurunkan tingkat risiko yang akan ditanggung apabila dikemudian hari terjadi keadaan dimana mereka mengalami kerugian yang besar.
Dengan mengalihkan risiko kepada asuransi seorang tertanggung atau pengguna jasa asuransi akan mendapatkan ganti rugi dari penanggung atau pihak penyelenggara asuransi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak sebelumnya pada saat terjadi sesuatu yang mengakibatkan kerugian bagi tertanggung.
Sebelum tertanggung menyepakati perjanjian dengan pihak penanggung akan lebih baik jika tertanggung mempelajari dan memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud asuransi dan bagaimana sistem kerja asuransi agar kelak dikemudian hari tidak terjadi kesalahpahaman akibat kurang telitinya tertanggung pada konsep asuransi sebagai pengalih resiko.

~ PEMBAHASAN ~

Asuransi sebagai Suatu Bentuk Perjanjian
Asuransi adalah kontrak perjanjian antara yang diasuransikan (insured) dan perusahaan asuransi (insurer), dimana insurer bersedia memberikan kompensasi atas kerugian yang alami pihak yang diasuransikan dan pihak pengasuransi (insurer) memperoleh premi asuransi sebagai balasannya.[1]
Menurut Wirdjono Prodjodikoro, memaknai bahwa dalam asuransi terlibat dua pihak; yang satu sanggup akan menanggung atau menjamin, bahwa pihak lain akan mendapat penggantian dari suatu kerugian, yang mungkin ia akan mendapat penggantian dari suatu kerugian, yang mungkin ia akan menderita sebagai akibat dari suatu peristiwa, yang semula belum dapat ditentukan saat akan terjadinya.31 Untuk sahnya perjanjian itu, perjanjian asuransi harus memenuhi syarat-syarat yang disebut untuk suatu perjanjian sebagaimana diatu oleh Pasal 1320 KUHPer. Adapun syarat-syarat itu adalah:
1.      Adanya kesepakatan di antara kedua pihak
2.      Adanya kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian
3.      Mengenai sesuatu hal tertentu
4.      Sesuatu sebab/kausa/isi yang halal/diperbolehkan
Syarat yang pertama menghendaki agar para pihak/subjek yang mengadakan perjanjian telah setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga kehendaki oleh pihak lainnya dalam perjanjian. Adanya paksaan secara fisik (dipukul dan sebagainya), paksaan rokhani (diancam dan sebagainya), penipuan (perbuatan yang menjerumuskan seseorang ke dalam keadaan yang merugikan) dan khilaf baik mengenai obyek yang diperjanjikan atau subjek dengan siapa perjanjian itu dibuat, merupakan cacat dari kata sepakat, sehingga mempengaruhi sahnya perjanjian. Syarat adanya kecakapan untuk membuat perjanjian, mengharuskan bahwa subjek perjanjian itu mempunyai wewenangan bertindak dalam hukum. Mempunyai wewenang untuk bertindak dalam hukum, artinya adalah mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum (hak dan kewajiban) dan berwenang untuk mengadakan suatu proses di muka pengadilan. Selanjutnya, mengenai syarat ketiga, berupa hal tertentu, mensyaratkan agar prestasi yang diperjanjikan oleh kedua pihak itu disebutkan secara terperinci, sehingga hak dan kewajiban para pihak diketahui secara tegas dan jelas. Dalam hal prestasi itu berupa barang, maka harus disebutkan jenis dan jumlahnya.
Syarat keempat mensyaratkan agar isi perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang maupun kesusilaan umum. Dalam perjanjian asuransi, maka yang menjadi isi perjanjian adalah bahwa pihak tertanggung harus membayar premi kepada penanggung, sedang pihak penanggung harus membayar ganti rugi apabila terjadi kerugian pada benda yang dipertanggungkan.[2]
Perjanjian asuransi merupakan sebuah kontrak yang bersifat legal. Kontrak tersebut menjelaskan setiap istilah dan kondisi yang dilindungi, premi yang harus dibayar oleh pihak tertanggung kepada pihak penanggung sebagai jasa pengalihan risiko, sekaligus besarnya dana yang keberadaannya bisa diklaim di masa depan, termasuk biaya administrasi dan keuntungan.[3]
Perjanjian asuransi merupakan bagian dari hukum asuransi itu sendiri. Dalam hukum asuransi, ditetapkan bahwa objek pertanggungan dalam asuransi, ditetapkan bahwa objek pertanggungan dalam perjanjian asuransi bisa berupa benda dan jasa, kesehatan, tanggung jawab hukum, serta berbagai kepentingan lainnya yang dimungkinkan bisa hilang, rusak ataupun berkurang nilainya.[4]
Semua permbelian asuransi menyangkut perjanjian (kontrak), yaitu perjanjian yang mengikat secara hukum dan menimbulkan hak serta kewajiban bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Jika salah satu pihak gagal melakukan kewajibannya tanpa alasan hukum, perjanjian (kontrak) dianggap dilanggar. Jika Perjanjian (kontrak) atau jika timbul perselisihan di antara pihak-pihak tentang interprestasi dari perjanjian, permasalahannya dapat diselesaikan di pengadilan. Dalam hal ini, pengadilan memiliki kemampuan untuk menegakkan (enforce) pertimbangannya dan menyelesaikan perselisihan perjanjian.
Perjanjian (kontrak) dapat dibedakan lagi dalam kontrak bersyarat (voidable contract) dan kontrak yang cacat hukum (void contract). Kontrak bersyarat memungkinkan satu pihak memilih memutuskan perjanjian karena tindakan atau ketiadaann tindakan (wanprestasi) dari pihak lainnya. Pihak yang memiliki hak untuk memutuskan perjanjian dapat juga memilih agar perjanjian ditegakkan. Sedangkan kontrak cacat hukum, jika dari semula kekurangan satu atau lebih persyaratan untuk menjadi perjanjian yang berlaku.[5]
Perjanjian asuransi di mana tertanggung dan penanggung mengikat suatu perjanjian tentang hak dan kewajiban masing-masing, perusahaan asuransi membebankan sejumlah premi yang harus dibayar tertanggung. Premi yang harus dibayar sebelumnya sudah ditaksirkan dulu atau diperhitungkan dengan nilai risiko yang akan dihadapi. Semakin besar risiko, semakin besar premi yang harus dibayar dan sebaliknya.
Perjanjian asuransi tertuang dalam polis asuransi, dimana disebutkan syarat-syarat, hak-hak, kewajiban masing-masing pihak, jumlah uang yang dipertanggungkan dan jangka waktu asuransi. Jika dalam masa pertanggungkan terjadi risiko, pihak asuransi akan membayar sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat dan ditandatangani bersama sebelumnya.[6]

Tujuan asuransi sebagai pengalih resiko
Menurtut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Risiko berarti akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan. Risiko bisa didefinisikan dengan berbagai cara. Sebagai kejadian yang merugikan. Resiko muncul karena ada kondisi ketidakpastian.[7]
Pengalihan risiko artinya, Tertanggung (orang yang memakai jasa asuransi) menyadari bahwa ada ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya atau terhadap jiwanya. Jika bahaya tersebut menimpa harta kekayaan atau jiwanya, mereka akan menderita kerugian atau korban jiwa atau cacat raganya. Secara ekonomi, kerugian materialatau korban jiwa atau cacat raga akan mempengaruhi perjalanan hidup seseorang atau ahli warisnya. Tertanggung sebagai pihak yang terancam bahaya merasa berat memikul beban risiko yang sewaktu-waktu terdapat peristiwa yang tidak dikehendaki terjadi.
Untuk mengurangi atau menghilangkan beban risiko tersebut, pihak tertanggung mencari pihak lain yang bersedia mengambil alih beban risiko ancaman bahaya dan tertanggung akan membayar kontra prestasi yang disebut premi. Dalam dunia bisnis perusahaan asuransi selalu menerima tawaran dari pihak tertanggung untuk mengambil alih risiko dengan imbalan pembayaran premi. Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi sebagai penanggung. Apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi tidak terjadi peristiwa yang merugikan, penanggung beruntung memiliki dan menikmati premi yang telah diterimanya dari tertanggung.

Fungsi asuransi
Disamping sebagai bentuk pengendalian risiko (secara finansial), asuransi juga memiliki berbagai manfaat yang diklasifikasikan ke dalam beberapa fungsi sebagai berikut:
1.      Fungsi primer
a.       Pengalihan resiko
Sebagai sarana atau mekanisme pengalihan kemungkinan resiko /kerugian (chance of loss) dari tertanggung sebagai ”Original Risk Bearer” kepada penanggung (a risk transfer mechanism). Sehingga ketidakpastian (uncertainty) yang berupa kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat suatu peristiwa tidak terduga, akan berubah menjadi proteksi asuransi yang pasti merubah kerugian menjadi ganti rugi atau santunan klaim dengan syarat pembayaran premi.
b.      Penghimpun dana
Sebagai penghimpun dana dari masyarakat (pemegang polis) yang akan dibayarkan kepada mereka yang mengalami kerugian (evenemen), dana yang dihimpun tersebut berupa premi atau biaya asuransi yang dibayar oleh tertanggung kepada penanggung, dikelola sedemikian rupa sehingga dana tersebut berkembang, yang kelak akan akan dipergunakan untuk membayar kerugian yang mungkin akan diderita salah seorang tertanggung.
c.       Premi seimbang
Untuk mengatur sedemikian rupa sehingga pembayaran premi yang dilakukan oleh masing-masing tertanggung adalah seimbang dan wajar sebanding dengan risiko yang dialihkannya kepada penanggung (equitable premium). Dan besar kecilnya premi yang harus dibayarkan tertanggung dihitung berdasarkan suatu tarip premi (rate of premium) dikalikan dengan nilai pertanggungan.
2.      Fungsi Sekunder
a.    Export terselubung (invisible export) sebagai penjualan terselubung komoditas atau barang-barang tak nyata (intangible product) keluar negeri.
b.    Perangsang pertumbuhan ekonomi (stimulus ekonomi) Adalah untuk merangsang pertumbuhan usaha, mencegah kerugian, pengendalian kerugian, memiliki manfaat sosial, dan sebagai tabungan.
c.    Sarana tabungan investasi dana dan invisible earnings
d.   Sarana pencegah dan pengendalian kerugian
Setiap orang yang memiliki suatu benda tentu menghadapi suatu risiko bahwa nilai dari miliknya itu akan berkurang baik karena hilangnya benda itu, maka karena kerusakan atau karena musnah terbakar atau karena sebab lainnya. Disebabkan kebakaran maka benda seseorang barang-barang perhiasan, karena angin topan maka seseorang akan menderita kerugian dari hasil panennya. Semua hal–hal ini yaitu kebakaran, pencurian, angin topan dan lain-lain itu adalah peristiwa-peristiwa yang pada satu pihak walaupun kemungkinan itu akan terjadi itu besar, tidaklah dapat diharapkan terjadinya dengan suatu kepastian, dan pada pihak lain bahwa orang yang ditimpanya itu biasanya menderita kerugian yang lebih besar dari faktor-faktor kerugian yang normal, sedangkan peristiwa-peristiwa ini kadang-kadang juga dapat mengakibatkan mungkin jatuhnya keadaan keuangan dari seseorang. Jika hal ini dihubungkan dengan asuransi maka dapatlah dikatakan bahwa kerugian orang-orang itu tadi dapat diperingan atau dikurangi, bahkan ditanggung oleh orang lain asal untuk itu diperjanjikan sebelumnya.

Asuransi sebahai lembaga pelimpahan resiko
Pada hakikatnya, setiap kegiatan manusia didunia ini betapapun sederhananya, selalu mengandung berbagai kemungkinan, baik yang positif maupun negatif. Adakalanya beruntung dan adakalanya mengalami kerugian. Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap kegiatan manusia itu selalu mengandung suatu keadaan yang tidak pasti. Keadaan tidak pasti yang menimbulkan rasa tidak aman terhadap setiap kemungkinan menderita itu disebut risiko. Oleh karena itu manusia mencari jalan dan upaya bagaimana caranya agar risiko yang seharusnya ia tanggung sendiri itu dapat dikurangi dan dibagi kepada pihak lain yang bersedia menanggung risiko tersebut. Salah satu upaya manusia untuk mengalihkan risiko ialah dengan jalan mengadakan perjanjian pelimpahan risiko dengan pihak lain. Perjanjian yang dimaksud disini adalah perjanjian asuransi atau perjanjian pertanggungan. Peralihan risiko dari pihak satu kepihak lain apabila dilakukan secara teratur oleh kalangan luas dalam masyarakat dan dalam frekuensi yang relatif lama dan terus menerus akan melahirkan suatu lembaga. Lembaga demikian dapat disebut lembaga asuransi atau pertanggungan.

Prinsip-prinsip asuransi
Prinsip-prinsip dasar asuransi sering kali juga disebut sebagai doktrin asuransi. Dalam hal ini, prinsip-prinsip asuransi mencakup insurable interest, utmost good faith, indemnity, proximate cause, serta subrogation and contribution.[8] Berikut ini penjelasan lebih jelas dari kelima prinsip tersebut.
1.      Insurable interest
Insurable interest (kepentingan yang dapat diasuransikan), yaitu setiap pihak yang bermaksud mengadakan perjanjian asuransi harus mempunyai kepentingan yang dapat diasuransikan, artinya tertanggung harus mempunyai keterlibatan sedemikian rupa, dengan akibat dari suatu peristiwa yang belum pasti terjadi dan yang bersangkutan menderita kerugian akibat dari peristiwa itu.[9]
Insurable interest merupakan hak untuk mengasuransikan, yang timbul dari suatu hubungan keuangan, antara tertanggung dengan yang diasuransikan dan diakui secara hukum.[10] Berdasarkan prinsip ini, pihak yang bermaksud akan mengasuransikan sesuatu harus mempunyai kepentingan dengan barang yang akan diasuransikan. Dan agar kepentingan itu dapat diasuransikan, maka kepentingan itu harus dapat dinilai dengan uang.[11]
Insurable interest pada prinsipnya adalah hak berdasarkan hukum guna mempertanggungkan suatu risiko yang berkaitan dengan keuangan, yang diakui sah secara hukum, antara tertanggung dan sesuatu yang dipertanggungkan. Insurable interest merupakan prinsip paling fundamental dalam kontrak asuransi. Sebab, hal itu bertalian langsung dengan bentuk maupun rupa pertanggungan yang dijamin dalam suatu kontrak asuransi. Sesuatu yang dipertanggungkan dalam konteks ini bisa berupa benda, harta, atau peristiwa yang bisa menimbulkan hak serta kewajiban keuangan secara hukum.
Prinsip insurable interest, sesuatu yang dipertanggungkan semata-mata hanya menyangkut kepentingan yang bisa mengakibatkan kerugian dalam konteks finansial atas sesuatu yang dipertanggungkan. Inilah hal penting yang perlu diketahui oleh tertanggung atau nasabah.

2.      Utmost good faith
Utmost good faith yaitu adanya itikad baik dari kedua belah pihak. Tertanggung dan penanggung tidak boleh mengembangkan fakta yang dapat menyebabkan kerugian bagi pihak lain.[12] Prinsip keterbukaan (utmost good faith) ini terkandung dalam ketentuan Pasal 251 KUH Dagang yang pada intinyamenyatakan bahwa penutupan asuransi baru sah apabila penutupannya didasari iktikad baik.[13]
Utmost good faith atau ulberrina fides diterjemahkan sebagai “iktikad baik yang terbaik”. Dalam kontrak asuransi, iktikad baik saja belum cukup tapi dituntut yang terbaik dari iktikad baik dari calon tertanggung atau tertanggung.[14]
Utmost good faith secara sederhana bisa diterjemahkan sebagai “niatan baik”. Dalam hal ini, hal yang dimaksud adalah dalam menetapkan kontrak atau persetujuan, sudah seharusnya dilakukan semata-mata berlandaskan dengan niatan baik. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika kemudahan baik dari pihak tertanggung maupun penanggung menyembunyikan suatu fakta yang bisa mengakibatkan timbulnya kerugian bagi salah satu pihak diantara keduanya. Prinsip semacam ini sebenarnya berlaku dalam segala bentuk perjanjian mapun persetujuan.

3.      Indemnity
Indemnity yaitu berarti mengembalikan posisi finansial tertanggung pada saat setelah mengalami kerugian sebagaimana pada posisi sebelum menuai kerugian yang disebabkan peristiwa yang tidak diinginkan seiring dengan ketidakpastian itu sendiri. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa indemnity merupakan prinsip ganti rugi oleh pihak penanggung kepada pihak tertanggung. Patut diketahui oleh nasabah bahwa prinsip semacam ini tidak berlaku bagi produk asuransi jiwa atau asuransi kecelakaan. Karena, pada dasarnya, prinsip indemnity sama sekali tidak bertalian dengan penggantian kerugian finansial yang dialami tertanggung. Selain itu, dalam prinsip indemnity, tertanggung sama sekali tidak dibenarkan untuk memperoleh pembayaran ganti rugi melebihi kepentingan tertanggung terhadap objek yang dipertanggungkan.[15]
Prinsip ini menjelaskan bahwa dalam suatu perjanjian asuransi, apabila seorang tertanggung menderita kerugian finansial yang diakibatkan oleh risiko tertentu yang dijamin perusahaan asuransi benar-benar terjadi, maka tertanggung akan mendapat ganti rugi sebesar kerugian yang dideritanya.[16] Dengan dipergunakan prinsip indemnitas, di dalam asuransi didasarkan pada asas hukum perdata yaitu larangan memperkaya diri selama melawan hukum atau memperkaya diri tanpa hak (onrechtmatige verrijking). Prinsip indemnitas berkaitan dengan pengukuran besarnya nilai kerugian.[17]

4.      Proximate cause
Proximate cause merupakan salah satu prinsip penting dalam penyelesaian santunan. Dengan menggunakan prinsip ini, maka suatu peristiwa dapat ditentukan penyebabnya. Penggantian kerugian oleh perusahaan asuransi hanya akan dibayarkan apabila peristiwa yang dominan menimbulkan kerugian itu termasuk dalam jaminan polis asuransi yang bersangkutan.[18]
Proximate cause merupakan suatu sebab aktif, efisien, yang memicu terjadinya suatu peristiwa secara berantai tanpa adanya intervensi oleh suatu kekuatan lain, yang diawali dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru serta independen. Dalam konteks ini, nasabah atau tertanggung penting untuk memahami betul terkait dengan hubungan antara risiko yang merupakan bagian yang termuat atau dijamin oleh polis dengan prinsip proximate cause. Berpijak pada prinsip semacam ini, dalam suatu peristiwa yang tidak diinginkan apabila benar-benar terjadi maka yang akan ditelisik secara lebih mendalam dahulu adalah pemantik dari rentetan peristiwa tersebut hingga pada akhir peristiwa itu.[19]
Cara menentukan proximate cause atas suatu rentetan peristiwa yang terjadi adalah dengan memperhatikan peristiwa pertama yang menjadi pemantik terjadinya peristiwa berikutnya. Setelah itu, baru menganalisis kemungkinan kejadian pada peristiwa yang selanjutnya, hingga pada akhir peristiwa.[20]

5.      Subrogation and contribution
Prinsip indemnity atau ganti rugi merupakan suatu konsekuensi logis atas suatu klaim. Konsekuensi logis tersebut merupakan prinsip ganti rugi yang terdiri dari subrogation (subrogasi) dan contribution (kontribusi). Berikut ini penjelasan kedua hal tersebut.
a.       Surogation (Subrogasi)
Subrogasi merupakan pendukung konsep indemnity karena subrogasi mencegah tertanggung untuk mendapatkan recovery lebih dari kerugian yang dideritanya, sehingga subrogasi disebut juga corollary of indemnity. Subrogasi merupakan peralihan hak dari tertanggung kepada penanggung untuk menuntut ganti rugi kepada pihak lain yang mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap obyek pertanggungan dari tertanggung sesaat setelah penanggung membayar ganti rugi kepada tertanggung sesuai jaminan polis.[21]
Subrogation adalah pengalihan hak tuntut dari tertanggung kepada penanggung setelah klaim dibayar.[22] Subrogation atau subrogasi, pada prinsipnya, merupakan hak penanggung selaku pihak yang telah memberikan ganti rugi kepada pihak tertanggung, dimana dalam hal ini penanggung memiliki hak untuk menuntut pihak lain yang mengakibatkan kepentingan asuransinya mengalami suatu peristiwa yang tidak diinginkan sehingga mengakibatkan kerugian. Dengan adanya prinsip semacam ini, maka pada saat bersamaan, pihak tertanggung tidak memungkinkan untuk memperoleh biaya ganti rugi melebihi kerugian yang dialami atau dideritanya.
b.      Contribution (Kontribusi)
Contribution adalah hak penanggung untuk mengajak penanggung lain-lainnya yang sama-sama menanggung, tetapi tidak harus sama kewajibannya terhadap tertanggung untuk ikut memberikan indemnity.[23] Contribution suatu prinsip di mana penanggung berhak mengajak penanggung-penanggung lain yang memiliki kepentingan yang sama untuk ikut bersama membayar ganti rugi kepada seseorang tertanggung, meskipun jumlah tanggungan masing-masing penanggung belum tentu besarnya.[24]
Contribution (kontribusi) adalah hak penanggung untuk “menagih” bagian yang menjadi tanggung jawab penanggung lain atas ganti rugi yang telah dibayarkan kepada tertanggung. Dalam praktik perasuransian, bahwa kontribusi tidaklah selamanya dilakukan sesuai dengan cara “bayar dahulu” kepada tertanggung “baru tagih” kepada penanggung lainnya.[25]
Prinsip kontribusi merupakan bagian dari konsekuensi logis prinsip indemnity. Dalam prinsip semacam ini, penanggung memiliki hak otoritas guna mengajak penanggung-penanggung lain yang memiliki kepentingan serupa untuk turut andil dalam membayar ganti rugi kepada pihak tertanggung, meskipun secara jumlah nominal masing-masing penanggung tidak lantas harus sama. Hal tersebut bisa saja terjadi apabila pihak tertanggung, pada saat bersamaan, mempertanggungkan suatu objek benda atas suatu risiko yang sama kepada beberapa penanggung atau pihak perusahaan asuransi.

Pengaturan Asuransi dalam Undang – Undang Nomor 2 tahun 1992
Kehadiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 (selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian) ini sekaligus untuk menata usaha asuransi yang telah ada agar dapat tumbuh dan berkembang perusahaan atau industri asuransi handal yang perlu terus dibina dan diberdayakan untuk mendukung perkembangan pembangunan.[26]
Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 (selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian) “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau taggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dan suatu peristiwa tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas rneninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 (selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian) mencakup 2 (dua) jenis asuransi, yaitu:
a.       Asuransi kerugian (loss insurance), dapat diketahui bahwa “untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita oleh tertanggung”.
b.      Asuransi jumlah (sum insurance), yang meliputi asuransi jiwa dan asuransi sosial, dapat diketahui bahwa “untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 (selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian) tersebut, diatur bahwa bidang usaha perasuransian terdiri dari usaha asuransi dan usaha penunjang. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa usaha asuransi masuk dalam lingkup usaha jasa keuangan, karena usaha tersebut menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi. Jasa penunjang usaha asuransi di sini meliputi jasa perantara (pialang broker), jasa penilaian kerugian asuransi dan jasa aktuaria.
Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 (selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian), pada dasarnya usaha asuransi telah dibagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Usaha asuransi kerugian adalah asuransi jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, kelambatan dan tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, sedangkan usaha asuransi jiwa adalah asuransi jasa untuk menanggulangi risiko yang dikaitkan dengan hidup atau matinya seseorang, sehat atau sakitnya seseorang atau cacatnya seseorang, yang dipertanggungkan. Selain 2 (dua) kelompok usaha asuransi dalam undang-undang tersebut juga diatur usaha reasuransi yaitu memberi jasa atau pertanggung ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi.[27]
Menurur Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 (selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian) diatur ruang lingkup usaha asuransi yang sudah membatasi lingkup usaha dari perusahaan asuransi yaitu:
1.      Perusahaan asuransi kerugian hanya dapat menyelenggarakan usaha bidang asuransi kerugian, termasuk reasuransi.
2.      Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi jiwa, kesehatan, dan kecelakaan diri.
3.      Perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha pertanggungan ulang.
Perusahaan asuransi tersebut hanya dapat menjalankan jenis usaha yang ditetapkan perusahaan asuransi tidak dimungkinkan menjalankan sekaligus asuransi kerugian atau jiwa ataua reasuransi[28].
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 (selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian), perusahaan penunjang usaha asuransi dibedakan menjadi lima yaitu perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, perusahaan penilai kerugian asuransi, perusahaan konsultan aktuaria, perusahaan agen asuransi.
Sedangkan Pasal 6 undang-undang tersebut, diatur mengenai penutupan objek asuransi yang harus didasarkan pada kebebasan memilih pertanggungan, kecuali program asuransi sosial. Dalam Pasal 6 meskipun tertanggung bebas memilih penanggung tetapi tersirat bahwa tertanggung harus memilih perusahaan asuransi yang memiliki izin usaha dari Kementerian Keuangan. Hal tersebut terlihat dalam norma Pasal 6 ayat (2) bahwa penutupan asuransi tersebut harus memperhatikan daya tampung perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dalam negeri.
Menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 (selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian) telah diatur bentuk hukum usaha asuransi yaitu:
1.      Perusahaan perseroan (persero)
2.      Koperasi
3.      Perseroan terbatas, dan
4.      Usaha bersama (mutual).
Kecuali untuk usaha penunjang asuransi berupa usaha konsultan aktuari dan agen asuransi dapat berbentuk perorangan.
Menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 (selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian), diatur kepemilikan perusahaan asuransi adalah warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia yang dapat juga berbentuk usaha patungan dengan asing. Pasal 8 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1992, perusahaan perasuransian hanya didirikan oleh WNI dan atau badan hukum yang sepenuhnya milik WNI dan atau badan hukum Indonesia; perusahaan perasuransian yang pemiliknya sebagaimana dimaksud dalam huruf (a), dengan perusahaan perasuransian yang tunduk pada hukum asing.
Menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 (selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian), diatur bahwa setiap perusahaan asuransi harus mendapat izin usahaa dari Menteri Keuangan kecuali bagi perusahaan yang menjalankan program asuransi sosial. Untuk mendapatkan izin harus memenuhi persyaratan adanya anggaran dasar, susunan organisasi, permodalan, kepemilikan, keahlian bidang asuransi dan kelayakan rencana kerja.


~ PENUTUP ~

Asuransi sangat diperlukan bagi setiap orang sebagai pengalihan risiko baik dalam skala kecil seperti asuransi jiwa maupun dalam skala besar seperti asuransi perusahaan. Asuransi diganakan dengan tujuan memperkecil kerugian yang ditanggung apabila terjadi hal-hal yang merugikan dikemudian hari.


[1]Mamduh M. Hanafih, Op.Cit, hlm 260.  
[2] Agus Prawoto, Hukum Asuransi dan Kesehatan Perusahaan Asuransi, Edisi 1, (Yogyakarta: BPFE, 1995), hlm 46-47. 
[3] Zian Farodis, Op.Cit, hlm 24. 
[4] Ibid, hlm 25.
[5] Sentanoe Kertanegoro, Op.Cit, hlm 86. 
[6] Kasmir, Op.Cit, hlm 261. 
[7] Mamduh M. Hanafih, Op.Cit, hlm 1. 
[8] Zian Farodis, Op.Cit, hlm 28. 
[9] Elsi Kartika Sari, & Advendi Simangunsong, Op.Cit, hlm 90. 
[10] Rianto Astono, Salah Kaprah Memilih Asuransi, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2013), hlm 12. 
[11] Agus Prawoto, Op.Cit, hlm 43. 
[12] Deddy Supriyadi, Manajemen Risiko (Buku Ajar), (Bandung: Institut Manajemen Koperasi Indonesia (IKOPIN), 2011), hlm 61. 
[13] Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis: Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Edisi Keempat, Cetakan ketujuh, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm 183. 
[14] Kun Wahyu Wardana, Hukum Asuransi: Proteksi Kecelakaan Transportasi, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm 34. 
[15] Zian Farodis, Op.Cit, hlm 31. 
[16] Mulyadi Nitisusastro, Asuransi dan Usaha Perasuransian di Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2013), hlm 69. 
[17] Elsi Kartika Sari, & Advendi Simangunsong, Op.Cit, hlm 91. 
[18] Kun Wahyu Wardana, Op.Cit, hlm 39. 
[19] Zian Farodis, Op.Cit, hlm 33. 
[20] Ibid
[21] Kun Wahyu Wardana, Op.Cit, hlm 42. 
[22] Rianto Astono, Op.Cit, hlm 13. 
[23] Rianto Astono, Op.Cit, hlm 13. 
[24] Kasmir, Op.Cit, hlm 266. 
[25] H.K. Martono dan Eka Budi Tjahjono, Op.Cit, hlm 34. 
[26] K. Martono dan Budi Eka Tjahjono, Op.Cit, hlm 14. 
[27] Ibid
[28] Ibid. Hlm.15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar