~ PENDAHULUAN ~
Dewasa
ini banyak orang yang mulai memahami dan menerima pengalihan risiko kepada
asuransi. Hal ini dilakukan dengan harapan seseorang dapat menurunkan tingkat
risiko yang akan ditanggung apabila dikemudian hari terjadi keadaan dimana
mereka mengalami kerugian yang besar.
Dengan mengalihkan risiko kepada asuransi
seorang tertanggung atau pengguna jasa asuransi akan mendapatkan ganti rugi
dari penanggung atau pihak penyelenggara asuransi sesuai dengan perjanjian yang
telah disepakati oleh kedua belah pihak sebelumnya pada saat terjadi sesuatu
yang mengakibatkan kerugian bagi tertanggung.
Sebelum
tertanggung menyepakati perjanjian dengan pihak penanggung akan lebih baik jika
tertanggung mempelajari dan memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud asuransi
dan bagaimana sistem kerja asuransi agar kelak dikemudian hari tidak terjadi
kesalahpahaman akibat kurang telitinya tertanggung pada konsep asuransi sebagai
pengalih resiko.
~ PEMBAHASAN
~
Asuransi sebagai Suatu Bentuk Perjanjian
Asuransi adalah kontrak perjanjian antara yang diasuransikan (insured)
dan perusahaan asuransi (insurer), dimana insurer bersedia
memberikan kompensasi atas kerugian yang alami pihak yang diasuransikan dan
pihak pengasuransi (insurer) memperoleh premi asuransi sebagai
balasannya.[1]
Menurut Wirdjono
Prodjodikoro, memaknai bahwa dalam asuransi terlibat dua pihak; yang satu
sanggup akan menanggung atau menjamin, bahwa pihak lain akan mendapat
penggantian dari suatu kerugian, yang mungkin ia akan mendapat penggantian dari
suatu kerugian, yang mungkin ia akan menderita sebagai akibat dari suatu
peristiwa, yang semula belum dapat ditentukan saat akan terjadinya.31 Untuk
sahnya perjanjian itu, perjanjian asuransi harus memenuhi syarat-syarat yang
disebut untuk suatu perjanjian sebagaimana diatu oleh Pasal 1320 KUHPer. Adapun
syarat-syarat itu adalah:
1.
Adanya kesepakatan di antara kedua pihak
2.
Adanya kecakapan para pihak untuk membuat
perjanjian
3.
Mengenai sesuatu hal tertentu
4.
Sesuatu sebab/kausa/isi yang
halal/diperbolehkan
Syarat
yang pertama menghendaki agar para pihak/subjek yang mengadakan perjanjian
telah setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian. Apa yang dikehendaki
oleh pihak yang satu juga kehendaki oleh pihak lainnya dalam perjanjian. Adanya
paksaan secara fisik (dipukul dan sebagainya), paksaan rokhani (diancam dan
sebagainya), penipuan (perbuatan yang menjerumuskan seseorang ke dalam keadaan
yang merugikan) dan khilaf baik mengenai obyek yang diperjanjikan atau subjek
dengan siapa perjanjian itu dibuat, merupakan cacat dari kata sepakat, sehingga
mempengaruhi sahnya perjanjian. Syarat adanya kecakapan untuk membuat
perjanjian, mengharuskan bahwa subjek perjanjian itu mempunyai wewenangan
bertindak dalam hukum. Mempunyai wewenang untuk bertindak dalam hukum, artinya
adalah mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang
dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum (hak dan kewajiban) dan berwenang
untuk mengadakan suatu proses di muka pengadilan. Selanjutnya, mengenai syarat
ketiga, berupa hal tertentu, mensyaratkan agar prestasi yang diperjanjikan oleh
kedua pihak itu disebutkan secara terperinci, sehingga hak dan kewajiban para
pihak diketahui secara tegas dan jelas. Dalam hal prestasi itu berupa barang,
maka harus disebutkan jenis dan jumlahnya.
Syarat
keempat mensyaratkan agar isi perjanjian itu tidak bertentangan dengan
undang-undang maupun kesusilaan umum. Dalam perjanjian asuransi, maka yang
menjadi isi perjanjian adalah bahwa pihak tertanggung harus membayar premi
kepada penanggung, sedang pihak penanggung harus membayar ganti rugi apabila
terjadi kerugian pada benda yang dipertanggungkan.[2]
Perjanjian asuransi merupakan sebuah kontrak yang bersifat legal.
Kontrak tersebut menjelaskan setiap istilah dan kondisi yang dilindungi, premi
yang harus dibayar oleh pihak tertanggung kepada pihak penanggung sebagai jasa
pengalihan risiko, sekaligus besarnya dana yang keberadaannya bisa diklaim di
masa depan, termasuk biaya administrasi dan keuntungan.[3]
Perjanjian
asuransi merupakan bagian dari hukum asuransi itu sendiri. Dalam hukum
asuransi, ditetapkan bahwa objek pertanggungan dalam asuransi, ditetapkan bahwa
objek pertanggungan dalam perjanjian asuransi bisa berupa benda dan jasa,
kesehatan, tanggung jawab hukum, serta berbagai kepentingan lainnya yang
dimungkinkan bisa hilang, rusak ataupun berkurang nilainya.[4]
Semua
permbelian asuransi menyangkut perjanjian (kontrak), yaitu perjanjian yang
mengikat secara hukum dan menimbulkan hak serta kewajiban bagi pihak-pihak yang
bersangkutan. Jika salah satu pihak gagal melakukan kewajibannya tanpa alasan
hukum, perjanjian (kontrak) dianggap dilanggar. Jika Perjanjian (kontrak) atau
jika timbul perselisihan di antara pihak-pihak tentang interprestasi dari
perjanjian, permasalahannya dapat diselesaikan di pengadilan. Dalam hal ini,
pengadilan memiliki kemampuan untuk menegakkan (enforce) pertimbangannya
dan menyelesaikan perselisihan perjanjian.
Perjanjian
(kontrak) dapat dibedakan lagi dalam kontrak bersyarat (voidable contract)
dan kontrak yang cacat hukum (void contract). Kontrak bersyarat
memungkinkan satu pihak memilih memutuskan perjanjian karena tindakan atau
ketiadaann tindakan (wanprestasi) dari pihak lainnya. Pihak yang memiliki hak
untuk memutuskan perjanjian dapat juga memilih agar perjanjian ditegakkan.
Sedangkan kontrak cacat hukum, jika dari semula kekurangan satu atau lebih
persyaratan untuk menjadi perjanjian yang berlaku.[5]
Perjanjian
asuransi di mana tertanggung dan penanggung mengikat suatu perjanjian tentang
hak dan kewajiban masing-masing, perusahaan asuransi membebankan sejumlah premi
yang harus dibayar tertanggung. Premi yang harus dibayar sebelumnya sudah
ditaksirkan dulu atau diperhitungkan dengan nilai risiko yang akan dihadapi.
Semakin besar risiko, semakin besar premi yang harus dibayar dan sebaliknya.
Perjanjian asuransi tertuang dalam polis asuransi, dimana
disebutkan syarat-syarat, hak-hak, kewajiban masing-masing pihak, jumlah uang
yang dipertanggungkan dan jangka waktu asuransi. Jika dalam masa pertanggungkan
terjadi risiko, pihak asuransi akan membayar sesuai dengan perjanjian yang
telah dibuat dan ditandatangani bersama sebelumnya.[6]
Tujuan asuransi sebagai pengalih resiko
Menurtut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Risiko berarti akibat
yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau
tindakan. Risiko bisa didefinisikan dengan berbagai cara. Sebagai kejadian yang
merugikan. Resiko muncul karena ada kondisi ketidakpastian.[7]
Pengalihan risiko artinya, Tertanggung (orang yang memakai jasa
asuransi) menyadari bahwa ada ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya
atau terhadap jiwanya. Jika bahaya tersebut menimpa harta kekayaan atau
jiwanya, mereka akan menderita kerugian atau korban jiwa atau cacat raganya.
Secara ekonomi, kerugian materialatau korban jiwa atau cacat raga akan
mempengaruhi perjalanan hidup seseorang atau ahli warisnya. Tertanggung sebagai
pihak yang terancam bahaya merasa berat memikul beban risiko yang sewaktu-waktu
terdapat peristiwa yang tidak dikehendaki terjadi.
Untuk mengurangi atau menghilangkan beban risiko tersebut, pihak
tertanggung mencari pihak lain yang bersedia mengambil alih beban risiko
ancaman bahaya dan tertanggung akan membayar kontra prestasi yang disebut
premi. Dalam dunia bisnis perusahaan asuransi selalu menerima tawaran dari
pihak tertanggung untuk mengambil alih risiko dengan imbalan pembayaran premi.
Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam
harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan
asuransi sebagai penanggung. Apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi
tidak terjadi peristiwa yang merugikan, penanggung beruntung memiliki dan
menikmati premi yang telah diterimanya dari tertanggung.
Fungsi
asuransi
Disamping
sebagai bentuk pengendalian risiko (secara finansial), asuransi juga memiliki
berbagai manfaat yang diklasifikasikan ke dalam beberapa fungsi sebagai
berikut:
1.
Fungsi primer
a.
Pengalihan resiko
Sebagai
sarana atau mekanisme pengalihan kemungkinan resiko /kerugian (chance of
loss) dari tertanggung sebagai ”Original Risk Bearer” kepada
penanggung (a risk transfer mechanism). Sehingga ketidakpastian (uncertainty)
yang berupa kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat suatu peristiwa
tidak terduga, akan berubah menjadi proteksi asuransi yang pasti merubah
kerugian menjadi ganti rugi atau santunan klaim dengan syarat pembayaran premi.
b.
Penghimpun dana
Sebagai
penghimpun dana dari masyarakat (pemegang polis) yang akan dibayarkan kepada
mereka yang mengalami kerugian (evenemen), dana yang dihimpun tersebut berupa
premi atau biaya asuransi yang dibayar oleh tertanggung kepada penanggung,
dikelola sedemikian rupa sehingga dana tersebut berkembang, yang kelak akan
akan dipergunakan untuk membayar kerugian yang mungkin akan diderita salah
seorang tertanggung.
c.
Premi
seimbang
Untuk mengatur sedemikian rupa
sehingga pembayaran premi yang dilakukan oleh masing-masing tertanggung adalah
seimbang dan wajar sebanding dengan risiko yang dialihkannya kepada penanggung
(equitable premium). Dan besar kecilnya premi yang harus dibayarkan
tertanggung dihitung berdasarkan suatu tarip premi (rate of premium)
dikalikan dengan nilai pertanggungan.
2.
Fungsi
Sekunder
a.
Export
terselubung (invisible export) sebagai penjualan terselubung komoditas
atau barang-barang tak nyata (intangible product) keluar negeri.
b.
Perangsang
pertumbuhan ekonomi (stimulus ekonomi) Adalah untuk merangsang pertumbuhan
usaha, mencegah kerugian, pengendalian kerugian, memiliki manfaat sosial, dan
sebagai tabungan.
c.
Sarana
tabungan investasi dana dan invisible earnings
d.
Sarana
pencegah dan pengendalian kerugian
Setiap orang yang memiliki suatu benda tentu menghadapi suatu
risiko bahwa nilai dari miliknya itu akan berkurang baik karena hilangnya benda
itu, maka karena kerusakan atau karena musnah terbakar atau karena sebab
lainnya. Disebabkan kebakaran maka benda seseorang barang-barang perhiasan,
karena angin topan maka seseorang akan menderita kerugian dari hasil panennya.
Semua hal–hal ini yaitu kebakaran, pencurian, angin topan dan lain-lain itu
adalah peristiwa-peristiwa yang pada satu pihak walaupun kemungkinan itu akan
terjadi itu besar, tidaklah dapat diharapkan terjadinya dengan suatu kepastian,
dan pada pihak lain bahwa orang yang ditimpanya itu biasanya menderita kerugian
yang lebih besar dari faktor-faktor kerugian yang normal, sedangkan
peristiwa-peristiwa ini kadang-kadang juga dapat mengakibatkan mungkin jatuhnya
keadaan keuangan dari seseorang. Jika hal ini dihubungkan dengan asuransi maka
dapatlah dikatakan bahwa kerugian orang-orang itu tadi dapat diperingan atau
dikurangi, bahkan ditanggung oleh orang lain asal untuk itu diperjanjikan
sebelumnya.
Asuransi sebahai lembaga pelimpahan resiko
Pada hakikatnya, setiap kegiatan manusia didunia ini betapapun
sederhananya, selalu mengandung berbagai kemungkinan, baik yang positif maupun
negatif. Adakalanya beruntung dan adakalanya mengalami kerugian. Sehingga dapat
dikatakan bahwa setiap kegiatan manusia itu selalu mengandung suatu keadaan
yang tidak pasti. Keadaan tidak pasti yang menimbulkan rasa tidak aman terhadap
setiap kemungkinan menderita itu disebut risiko. Oleh karena itu manusia
mencari jalan dan upaya bagaimana caranya agar risiko yang seharusnya ia
tanggung sendiri itu dapat dikurangi dan dibagi kepada pihak lain yang bersedia
menanggung risiko tersebut. Salah satu upaya manusia untuk mengalihkan risiko
ialah dengan jalan mengadakan perjanjian pelimpahan risiko dengan pihak lain.
Perjanjian yang dimaksud disini adalah perjanjian asuransi atau perjanjian
pertanggungan. Peralihan risiko dari pihak satu kepihak lain apabila dilakukan
secara teratur oleh kalangan luas dalam masyarakat dan dalam frekuensi yang
relatif lama dan terus menerus akan melahirkan suatu lembaga. Lembaga demikian
dapat disebut lembaga asuransi atau pertanggungan.
Prinsip-prinsip asuransi
Prinsip-prinsip
dasar asuransi sering kali juga disebut sebagai doktrin asuransi. Dalam hal
ini, prinsip-prinsip asuransi mencakup insurable interest, utmost good
faith, indemnity, proximate cause, serta subrogation and contribution.[8]
Berikut ini penjelasan lebih jelas dari kelima prinsip tersebut.
1. Insurable interest
Insurable
interest (kepentingan yang dapat diasuransikan), yaitu
setiap pihak yang bermaksud mengadakan perjanjian asuransi harus mempunyai
kepentingan yang dapat diasuransikan, artinya tertanggung harus mempunyai
keterlibatan sedemikian rupa, dengan akibat dari suatu peristiwa yang belum
pasti terjadi dan yang bersangkutan menderita kerugian akibat dari peristiwa
itu.[9]
Insurable
interest merupakan hak untuk mengasuransikan, yang
timbul dari suatu hubungan keuangan, antara tertanggung dengan yang
diasuransikan dan diakui secara hukum.[10]
Berdasarkan prinsip ini, pihak yang bermaksud akan mengasuransikan sesuatu
harus mempunyai kepentingan dengan barang yang akan diasuransikan. Dan agar
kepentingan itu dapat diasuransikan, maka kepentingan itu harus dapat dinilai
dengan uang.[11]
Insurable
interest pada prinsipnya adalah hak berdasarkan hukum
guna mempertanggungkan suatu risiko yang berkaitan dengan keuangan, yang diakui
sah secara hukum, antara tertanggung dan sesuatu yang dipertanggungkan. Insurable
interest merupakan prinsip paling fundamental dalam kontrak asuransi.
Sebab, hal itu bertalian langsung dengan bentuk maupun rupa pertanggungan yang
dijamin dalam suatu kontrak asuransi. Sesuatu yang dipertanggungkan dalam
konteks ini bisa berupa benda, harta, atau peristiwa yang bisa menimbulkan hak
serta kewajiban keuangan secara hukum.
Prinsip insurable
interest, sesuatu yang dipertanggungkan semata-mata hanya menyangkut
kepentingan yang bisa mengakibatkan kerugian dalam konteks finansial atas
sesuatu yang dipertanggungkan. Inilah hal penting yang perlu diketahui oleh
tertanggung atau nasabah.
2. Utmost good faith
Utmost
good faith yaitu adanya itikad baik dari kedua belah
pihak. Tertanggung dan penanggung tidak boleh mengembangkan fakta yang dapat
menyebabkan kerugian bagi pihak lain.[12]
Prinsip keterbukaan (utmost good faith) ini terkandung dalam ketentuan
Pasal 251 KUH Dagang yang pada intinyamenyatakan bahwa penutupan asuransi baru
sah apabila penutupannya didasari iktikad baik.[13]
Utmost
good faith atau ulberrina fides diterjemahkan sebagai “iktikad baik yang
terbaik”. Dalam kontrak asuransi, iktikad baik saja belum cukup tapi dituntut
yang terbaik dari iktikad baik dari calon tertanggung atau tertanggung.[14]
Utmost
good faith secara sederhana bisa diterjemahkan sebagai
“niatan baik”. Dalam hal ini, hal yang dimaksud adalah dalam menetapkan kontrak
atau persetujuan, sudah seharusnya dilakukan semata-mata berlandaskan dengan
niatan baik. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika kemudahan baik dari pihak
tertanggung maupun penanggung menyembunyikan suatu fakta yang bisa
mengakibatkan timbulnya kerugian bagi salah satu pihak diantara keduanya.
Prinsip semacam ini sebenarnya berlaku dalam segala bentuk perjanjian mapun
persetujuan.
3. Indemnity
Indemnity
yaitu
berarti mengembalikan posisi finansial tertanggung pada saat setelah mengalami
kerugian sebagaimana pada posisi sebelum menuai kerugian yang disebabkan
peristiwa yang tidak diinginkan seiring dengan ketidakpastian itu sendiri.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa indemnity merupakan prinsip ganti
rugi oleh pihak penanggung kepada pihak tertanggung. Patut diketahui oleh
nasabah bahwa prinsip semacam ini tidak berlaku bagi produk asuransi jiwa atau
asuransi kecelakaan. Karena, pada dasarnya, prinsip indemnity sama
sekali tidak bertalian dengan penggantian kerugian finansial yang dialami
tertanggung. Selain itu, dalam prinsip indemnity, tertanggung sama
sekali tidak dibenarkan untuk memperoleh pembayaran ganti rugi melebihi
kepentingan tertanggung terhadap objek yang dipertanggungkan.[15]
Prinsip
ini menjelaskan bahwa dalam suatu perjanjian asuransi, apabila seorang
tertanggung menderita kerugian finansial yang diakibatkan oleh risiko tertentu
yang dijamin perusahaan asuransi benar-benar terjadi, maka tertanggung akan
mendapat ganti rugi sebesar kerugian yang dideritanya.[16]
Dengan dipergunakan prinsip indemnitas, di dalam asuransi didasarkan pada asas
hukum perdata yaitu larangan memperkaya diri selama melawan hukum atau
memperkaya diri tanpa hak (onrechtmatige verrijking). Prinsip indemnitas
berkaitan dengan pengukuran besarnya nilai kerugian.[17]
4.
Proximate
cause
Proximate
cause merupakan salah satu prinsip penting dalam
penyelesaian santunan. Dengan menggunakan prinsip ini, maka suatu peristiwa
dapat ditentukan penyebabnya. Penggantian kerugian oleh perusahaan asuransi
hanya akan dibayarkan apabila peristiwa yang dominan menimbulkan kerugian itu
termasuk dalam jaminan polis asuransi yang bersangkutan.[18]
Proximate
cause merupakan suatu sebab aktif, efisien, yang memicu
terjadinya suatu peristiwa secara berantai tanpa adanya intervensi oleh suatu
kekuatan lain, yang diawali dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru
serta independen. Dalam konteks ini, nasabah atau tertanggung penting untuk
memahami betul terkait dengan hubungan antara risiko yang merupakan bagian yang
termuat atau dijamin oleh polis dengan prinsip proximate cause. Berpijak
pada prinsip semacam ini, dalam suatu peristiwa yang tidak diinginkan apabila
benar-benar terjadi maka yang akan ditelisik secara lebih mendalam dahulu
adalah pemantik dari rentetan peristiwa tersebut hingga pada akhir peristiwa
itu.[19]
Cara
menentukan proximate cause atas suatu rentetan peristiwa yang terjadi
adalah dengan memperhatikan peristiwa pertama yang menjadi pemantik terjadinya
peristiwa berikutnya. Setelah itu, baru menganalisis kemungkinan kejadian pada
peristiwa yang selanjutnya, hingga pada akhir peristiwa.[20]
5.
Subrogation
and contribution
Prinsip indemnity
atau ganti rugi merupakan suatu konsekuensi logis atas suatu klaim.
Konsekuensi logis tersebut merupakan prinsip ganti rugi yang terdiri dari subrogation
(subrogasi) dan contribution (kontribusi). Berikut ini penjelasan
kedua hal tersebut.
a.
Surogation (Subrogasi)
Subrogasi
merupakan pendukung konsep indemnity karena subrogasi mencegah
tertanggung untuk mendapatkan recovery lebih dari kerugian yang
dideritanya, sehingga subrogasi disebut juga corollary of indemnity.
Subrogasi merupakan peralihan hak dari tertanggung kepada penanggung untuk
menuntut ganti rugi kepada pihak lain yang mengakibatkan timbulnya kerugian
terhadap obyek pertanggungan dari tertanggung sesaat setelah penanggung
membayar ganti rugi kepada tertanggung sesuai jaminan polis.[21]
Subrogation
adalah
pengalihan hak tuntut dari tertanggung kepada penanggung setelah klaim dibayar.[22]
Subrogation atau subrogasi, pada prinsipnya, merupakan hak penanggung
selaku pihak yang telah memberikan ganti rugi kepada pihak tertanggung, dimana
dalam hal ini penanggung memiliki hak untuk menuntut pihak lain yang
mengakibatkan kepentingan asuransinya mengalami suatu peristiwa yang tidak
diinginkan sehingga mengakibatkan kerugian. Dengan adanya prinsip semacam ini,
maka pada saat bersamaan, pihak tertanggung tidak memungkinkan untuk memperoleh
biaya ganti rugi melebihi kerugian yang dialami atau dideritanya.
b.
Contribution (Kontribusi)
Contribution
adalah
hak penanggung untuk mengajak penanggung lain-lainnya yang sama-sama
menanggung, tetapi tidak harus sama kewajibannya terhadap tertanggung untuk
ikut memberikan indemnity.[23]
Contribution suatu prinsip di mana penanggung berhak mengajak
penanggung-penanggung lain yang memiliki kepentingan yang sama untuk ikut
bersama membayar ganti rugi kepada seseorang tertanggung, meskipun jumlah
tanggungan masing-masing penanggung belum tentu besarnya.[24]
Contribution
(kontribusi)
adalah hak penanggung untuk “menagih” bagian yang menjadi tanggung jawab
penanggung lain atas ganti rugi yang telah dibayarkan kepada tertanggung. Dalam
praktik perasuransian, bahwa kontribusi tidaklah selamanya dilakukan sesuai
dengan cara “bayar dahulu” kepada tertanggung “baru tagih” kepada penanggung
lainnya.[25]
Prinsip
kontribusi merupakan bagian dari konsekuensi logis prinsip indemnity.
Dalam prinsip semacam ini, penanggung memiliki hak otoritas guna mengajak
penanggung-penanggung lain yang memiliki kepentingan serupa untuk turut andil
dalam membayar ganti rugi kepada pihak tertanggung, meskipun secara jumlah
nominal masing-masing penanggung tidak lantas harus sama. Hal tersebut bisa
saja terjadi apabila pihak tertanggung, pada saat bersamaan, mempertanggungkan
suatu objek benda atas suatu risiko yang sama kepada beberapa penanggung atau
pihak perusahaan asuransi.
Pengaturan
Asuransi dalam Undang – Undang Nomor 2 tahun 1992
Kehadiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1992 (selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian) ini sekaligus untuk menata
usaha asuransi yang telah ada agar dapat tumbuh dan berkembang perusahaan atau
industri asuransi handal yang perlu terus dibina dan diberdayakan untuk
mendukung perkembangan pembangunan.[26]
Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 (selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian)
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih,
dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau taggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang
timbul dan suatu peristiwa tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran
yang didasarkan atas rneninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 (selanjutnya
disebut UU Usaha Perasuransian) mencakup 2 (dua) jenis asuransi, yaitu:
a.
Asuransi kerugian (loss insurance), dapat diketahui bahwa “untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita oleh tertanggung”.
b.
Asuransi jumlah (sum insurance), yang meliputi asuransi jiwa dan
asuransi sosial, dapat diketahui bahwa “untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
(selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian) tersebut, diatur bahwa bidang
usaha perasuransian terdiri dari usaha asuransi dan usaha penunjang. Dalam
undang-undang tersebut disebutkan bahwa usaha asuransi masuk dalam lingkup
usaha jasa keuangan, karena usaha tersebut menghimpun dana masyarakat melalui
pengumpulan premi. Jasa penunjang usaha asuransi di sini meliputi jasa
perantara (pialang broker), jasa penilaian kerugian asuransi dan jasa aktuaria.
Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
(selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian), pada dasarnya usaha asuransi
telah dibagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu asuransi kerugian dan asuransi
jiwa. Usaha asuransi kerugian adalah asuransi jasa dalam penanggulangan risiko
atas kerugian, kehilangan manfaat, kelambatan dan tanggungjawab hukum kepada
pihak ketiga yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, sedangkan usaha
asuransi jiwa adalah asuransi jasa untuk menanggulangi risiko yang dikaitkan
dengan hidup atau matinya seseorang, sehat atau sakitnya seseorang atau
cacatnya seseorang, yang dipertanggungkan. Selain 2 (dua) kelompok usaha
asuransi dalam undang-undang tersebut juga diatur usaha reasuransi yaitu
memberi jasa atau pertanggung ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh
perusahaan asuransi.[27]
Menurur Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992 (selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian) diatur ruang lingkup
usaha asuransi yang sudah membatasi lingkup usaha dari perusahaan asuransi
yaitu:
1.
Perusahaan asuransi kerugian hanya dapat menyelenggarakan usaha bidang
asuransi kerugian, termasuk reasuransi.
2.
Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam
bidang asuransi jiwa, kesehatan, dan kecelakaan diri.
3.
Perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha pertanggungan
ulang.
Perusahaan asuransi tersebut hanya dapat
menjalankan jenis usaha yang ditetapkan perusahaan asuransi tidak dimungkinkan
menjalankan sekaligus asuransi kerugian atau jiwa ataua reasuransi[28].
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
(selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian), perusahaan penunjang usaha
asuransi dibedakan menjadi lima yaitu perusahaan pialang asuransi, perusahaan
pialang reasuransi, perusahaan penilai kerugian asuransi, perusahaan konsultan
aktuaria, perusahaan agen asuransi.
Sedangkan Pasal 6 undang-undang
tersebut, diatur mengenai penutupan objek asuransi yang harus didasarkan pada
kebebasan memilih pertanggungan, kecuali program asuransi sosial. Dalam Pasal 6
meskipun tertanggung bebas memilih penanggung tetapi tersirat bahwa tertanggung
harus memilih perusahaan asuransi yang memiliki izin usaha dari Kementerian
Keuangan. Hal tersebut terlihat dalam norma Pasal 6 ayat (2) bahwa penutupan
asuransi tersebut harus memperhatikan daya tampung perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi dalam negeri.
Menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992 (selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian) telah diatur bentuk
hukum usaha asuransi yaitu:
1.
Perusahaan perseroan (persero)
2.
Koperasi
3.
Perseroan terbatas, dan
4.
Usaha bersama (mutual).
Kecuali untuk usaha penunjang asuransi berupa usaha
konsultan aktuari dan agen asuransi dapat berbentuk perorangan.
Menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
(selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian), diatur kepemilikan perusahaan
asuransi adalah warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia yang dapat
juga berbentuk usaha patungan dengan asing. Pasal 8 ayat (1) UU No. 2 Tahun
1992, perusahaan perasuransian hanya didirikan oleh WNI dan atau badan hukum
yang sepenuhnya milik WNI dan atau badan hukum Indonesia; perusahaan
perasuransian yang pemiliknya sebagaimana dimaksud dalam huruf (a), dengan
perusahaan perasuransian yang tunduk pada hukum asing.
Menurut Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992 (selanjutnya disebut UU Usaha Perasuransian), diatur bahwa setiap
perusahaan asuransi harus mendapat izin usahaa dari Menteri Keuangan kecuali
bagi perusahaan yang menjalankan program asuransi sosial. Untuk mendapatkan
izin harus memenuhi persyaratan adanya anggaran dasar, susunan organisasi,
permodalan, kepemilikan, keahlian bidang asuransi dan kelayakan rencana kerja.
~ PENUTUP
~
Asuransi
sangat diperlukan bagi setiap orang sebagai pengalihan risiko baik dalam skala
kecil seperti asuransi jiwa maupun dalam skala besar seperti asuransi
perusahaan. Asuransi diganakan dengan tujuan memperkecil kerugian yang
ditanggung apabila terjadi hal-hal yang merugikan dikemudian hari.
[2] Agus
Prawoto, Hukum Asuransi dan Kesehatan Perusahaan Asuransi, Edisi 1,
(Yogyakarta: BPFE, 1995), hlm 46-47.
[3] Zian
Farodis, Op.Cit, hlm 24.
[4] Ibid,
hlm 25.
[5] Sentanoe
Kertanegoro, Op.Cit, hlm 86.
[6] Kasmir, Op.Cit,
hlm 261.
[7] Mamduh
M. Hanafih, Op.Cit, hlm 1.
[8] Zian
Farodis, Op.Cit, hlm 28.
[9] Elsi
Kartika Sari, & Advendi Simangunsong, Op.Cit, hlm 90.
[10] Rianto
Astono, Salah Kaprah Memilih Asuransi, (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2013), hlm 12.
[11] Agus
Prawoto, Op.Cit, hlm 43.
[12] Deddy
Supriyadi, Manajemen Risiko (Buku Ajar), (Bandung: Institut Manajemen
Koperasi Indonesia (IKOPIN), 2011), hlm 61.
[13] Abdul
R. Saliman, Hukum Bisnis: Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Edisi
Keempat, Cetakan ketujuh, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm 183.
[14] Kun
Wahyu Wardana, Hukum Asuransi: Proteksi Kecelakaan Transportasi,
(Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm 34.
[15] Zian
Farodis, Op.Cit, hlm 31.
[16] Mulyadi
Nitisusastro, Asuransi dan Usaha Perasuransian di Indonesia, (Bandung:
Alfabeta, 2013), hlm 69.
[17] Elsi
Kartika Sari, & Advendi Simangunsong, Op.Cit, hlm 91.
[18] Kun
Wahyu Wardana, Op.Cit, hlm 39.
[19] Zian
Farodis, Op.Cit, hlm 33.
[20] Ibid
[21] Kun
Wahyu Wardana, Op.Cit, hlm 42.
[22] Rianto
Astono, Op.Cit, hlm 13.
[23] Rianto
Astono, Op.Cit, hlm 13.
[24] Kasmir,
Op.Cit, hlm 266.
[25] H.K.
Martono dan Eka Budi Tjahjono, Op.Cit, hlm 34.
[26] K.
Martono dan Budi Eka Tjahjono, Op.Cit, hlm 14.
[27] Ibid
[28] Ibid.
Hlm.15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar