Kamis, 15 Desember 2016

PANCASILA DAN BHINNEKA TUNGGAL IKA

Menurut Mr. M. Yamin berdirinya  negara kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan – kerajaan lama yang merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap yaitu; pertama, zaman Sriwijaya dibawah wangsa Syailendra, yang bercirikan kedatuan. Kedua, negara kebangsaan zaman Majapahit yang bercirikan keprabuan. Adapun kedua tahap tersebut merupakan negara kebangsaann Indonesia lama. Kemudian ketiga, negara kebangsaan modern yaitu Negara Indonesia merdaka (sekarang negara Proklamasi 17 Agustus 1945) (Sekretariat Negara RI., 1995: 11).
Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia terbentuk melalui fase yang cukup panjang serta dalam suatu proses historis, sehingga membentuk suatu ikatan batin dalam memilih suatu kehidupan dan cara untuk mencapai tujuan hidup bersama dalam suatu persekutuan hidup yang isebut bangsa dan negara Indonesia. Dalam hubungan ini bngsa Indonesia pada prinsipnya menyadari bahwa elemen – elemen masyarakat yang membentuk bangsa Indonesia ini tersusun atas berbagai macam faktor yang khas, unik, dan berbeda baik etnis, geografis, kultural, serta ciri primordial lainnya.
Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana terkandung dalam lambang negara Garuda Pancasila, bersama – bersama dengan Bendera Negara Merah Putih, Bahasa Negara Bahasa Indonesia dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, merupakan jati diri dan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat  simbol tersebut merupakan cerminan dan manifestasi atau perwujudan kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia di dalam tata pergaulan dengan negara – negara lain dalam masyarakat internasional serta merupakan cerminan kemandirian dan eksistensi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dasar hukum Lambang Negara Bhinneka Tunggal Ika
Dalam hubungan dengan lambang negara Garuda Pancasila yang didalamnya terdapat seloka Bhinneka Tunggal Ika telah diatur dalam Undang – Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945. Dalam pasal 36A disebutkan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang lambang Negara, bendera, serta lagu kebangsaan antara lain:
1.    Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) yang  mengatur tentang kejahatan (tindak pidana) yang menggunakan Bendera Merah Putih; penodaan terhadap bendera Negara sahabat; penodaan terhadap Bendera Merah Putih dan Lambang negara Garuda Pancasila; serta penggunaan bendera Merah Putih oleh mereka yang tidak memiliki hak menggunakannya seperti terdapat pada pasal 52a; pasal 142a; pasal 154a; dan pasal 473.
2.    Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara.
3.    Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1958 tentang penggunaan Lambang Negara.
Pengaturan perihal bendera, bahasa, lagu kebangsaan serta lambang negara dalam bentuk undang – undang sebagaimana diamanatkan Pasal 36C Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu segera direalisasikan. Undang – Undang tentang bendera, bahasa, lambang negara, lagu kebangsaan mampu mengatasi berbagai masalah yang terkait dengan praktik penetapa dan tata cara penggunaan bendera, bendera, bahasa, lambang negara, serta lagu kebangsaan yayng selama ini masih berpedoman kepada peraturan perundangan-undangan produk Undang – Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Bhinneka Tunggal Ika sebagai Local Wisdom Bangsa Indonesia
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia Lambang Negara Republik Indonesia Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dituangkan dalam peraturan pemerintah No. 66 Tahun 1951, yang disusun oleh panitia negara yang diangkat oleh pemerintah dan duduk di dalamnya adalah Mr. Muhammad Yamin.
Nama Lambang Negara Garuda Pancasila, karena wujud lambang yang dipergunakan adalah burung garuda, dan di dalamnya (ada tameng) memuat lambang sila – sila Pancasila dan disertai semboyan seloka Bhinneka Tunggal Ika, dan seloka itu tersurat di bawahnya. Jadi dalam lambang negara Indonesia terdapat unsur Gambar burung garuda, simbol sila – sila Pancasila dan seloka Bhinneka Tunggal Ika.
Seloka ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang melambangkan realitas bangsa dan negara Indonesia yang tersusun dari berbagai unsur rakyat (bangsa) yang terdiri atas berbagai macam suku, adat-istiadat, golongan, kebudayaan dan agama, wilayah yang terdiri dari atas beribu – ribu pulau menyatu menjadi bangsa dan negara Indonesia. Secara filologis istilah seloka itu diambil dari bahasa Jawa kuno, berasal dari zaman kerajaan Keprabuan Majapahit yang zaman keemasannya dibawah kekuasaan Prabu Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada (1350 - 1364). Pada zaman kerajaan Majapahit tersebut hidup berbagai agama dan aliran antara lain Hindu dengan berbagai macam aliran dan sektenya, serta agama Budha denagn berbagai aliran dan sektenya, serta berbagai macam tradisi yang tampak dalam Tantrayana dan upacara Cadra (yaitu upacara dalam menghormati nenek moynag yang telah meninggal) kemudian bercampur yang disebut dengan ‘syncritisme’. Berbagai unsur agama yang berbeda tersebut hidup dalam suatu kerajaan dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit dan dibawah satu Hukum Negara (Dharma) dan hidup rukun serta damai dengan penuh toleransi antar umat berbagai agama.
Makna filosofis Bhinneka Tunggal Ika
Negara kesatuan bukan dimaksudkan merupakan suatu kesatuan dari negara bagian (federasi), melainkan kesatuan dalam arti keseluruhan unsur – unsur negara yang bersifat fundamental. Demikian juga negara kesatuan bukanlah suatu kesatuan individu – individu sebagaimana diajarkan paham individualisme-liberalisme, sebab menurut paham negara kesatuan bahwa manusia adalah individu juga sekaligus mahluk sosial. Oleh karena itu sifat kodrat manusia sebagai mahluk individu-sosial menjadi basis ontologis (dasar fundamental) negara kesatuan itu adalah merupakan kodrat ynag diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Negara mengatasi semua golongan yang ada dalam masyarakat, negara tidak memihak pada salah satu golongan, negara bekerja demi kepentingan seluruh rakyat. Konsep negara yang demikian adalah merupakan konsekuensi logis dari faham “negara adalah masyarakat itu sendiri”, dan faham bahwa antara negara dan masyarakat terdapat relasi hierarki neo genetik. Masyarakat adalah produk dari interaksi antar segenap golongan yang ada di dalamnya. Masyarakat mengorganisasikan diri dalam bentuk suatu negara. Dengan demikian negara adalah produk dari interaksi antar golongan yang ada dalam masyarakat. Sebagai produk yang demikian maka ‘logic in itself’ bahwa negara mengatasi segenap golongan yang ada dalam masyarakat besar (Besar, 1991:84)
Nilai filosofis persatuan, dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan menjadi kunci kemajuan suatu bangsa. Bagi bangsa Indonesia yang kuasa materialisnya berbagai etnis, golongan, ras, agama serta primordial lainnya di nusa, yaitu bangsa Indonesia. Semangat moralitas bangsa itu, oleh founding fathers kita diungkapkan dalam satu seloka, yang merupakan simbol semiotis moralitas bangsa yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini mengandung etis bahwa setiap manusia apapun ras, etnis, golongan adalah sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa (sila I), pada hakikatnya sama berdasarkan harkat dan martabat manusia yang beradab (sila II). Oleh karena itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini harus mendasarkan pada kesadaran telah memiliki kesamaan pandangan untuk mempersatukan diri sebagai suatu bangsa yaitu bangsa Indonesia (sila III), memiliki kebebasan disertai tanggungjawab dalam hidup bersama (sila IV), untuk mewujudkan suatu cita – cita bersama yaitu kesejahteraan seluruh rakyat warga bangsa Indonesia (sila V).

Sumber:
Kaelan, 2014, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar