Selasa, 17 Januari 2017

kisah harun



Suatu hari Harun bersama anaknya pergi ke pasar dengan seekor kuda mereka.
Pertama Harun menaiki kuda dan anaknya berjalan mengiringinya, lantas seseorang berkata
“bapak macam apa itu? Tak kasihan pada anaknya, dia egois hingga menyuruh anaknya berjalan sedangkan dia menaiki kuda”
Lantas Harun turun dan mempersilahkan anaknya menaiki kuda sedangkan Ia berjalan mengiringi kuda itu. Seseorang mencercah
“bapak mmacam apa itu? Dia tak mengajari anaknya sopan santun hingga si anak tanpa sopan naik kuda sedangkan bapaknya berjalan”
Harun menurunkan anaknya dan mereka berdua berjalan mengiringi kuda, seseorang membicarakan mereka
“kenapa mereka mubadzir tenaga? Mereka membawa kuda namun tak memakainya, justru mereka menghabiskan tenaga untuk berjalan kaki, bukankah itu sangat mubadzir?”
Hingga Harun dan anaknya menaiki kuda tersebut, seseorang menyeru
“kenapa mereka tak memiliki rasa kasihan? Seekor kuda seharusnya membawa seorang saja, mengapa mereka berdua menaikinya sekaligus?”
***

Itu sepenggal cerita yang selalu saya ingat dan membuat saya berfikir tentang apa saja yang kita lakukan meski kita berfikir itu yang terbaik, selalu ada saja orang yang akan berkomentar miring. Karena itu sudah menjadi fitrah manusia, untuk membicarakan sisi negatif orang lain meski sebenarnya orang itu tak melakukan hal yang buruk.
Mereka berbicara solah – olah mereka yang paling benar meski sebenarnya mereka tak lebih baik dari yang dibicarakan, itu fitrah.
Hanya saja sebenarnya hal ini bisa dirubah.
Jika saja kita tak terlalu sibuk mencari kesalahan orang lain...
Jika saja kita memiliki kegiatan lain yang tak ‘mengharuskan’ kita membicarakan orang lain...
Andai saja semua orang memiliki kesibukan yang positif hingga kita tak perlu repot – repot memikirkan kelakuan orang lain
Tapi apa bisa? Sedangkan itu adalah fitrah?
Setidaknya kita harus memulai dari diri kita sendiri.
Sudah tau ghibah itu haram kenapa masih kita lakukan? Karena logikanya, jika kita tau ghibah atau membicarakan keburukan orang lain itu haram sedangkan kita tetap melakukannya itu berarti kita hanya tau, tapi tak percaya.
Seperti halnya kita tahu kalau bintang itu sebenarnya besar, tapi karena kita selalu melihat bintang kecil ketika malam maka yang kita percayai adalah bintang itu kecil.
Hal yang sama persis, kita tau membicarakan orang itu tidak boleh, haram, dosa, berakibat fatal... tapi karena kita tak pernah merasakan dampaknya secara langsung, maka kita percaya bahwa membicarakan orang itu tak apa – apa. Itu salah! Remember!
Lantas apa yang harus kita lakukan jika kita adalah objeknya?
Jika kita menerima semua perkataan orang tentang kita, maka kita akan “mati”. Rasa percaya diri kita akan kian menurun hingga akhirnya kita tak mampu lagi menampakkan wajah kita ke dunia.
Tapi perlu dicatat jika kita tak mendengarkan orang lain sama sekali, kita akan kian sombong dan suatu hari jatuh tanpa ada yang menolong.
Lalu apa?
Seperti udara yang kita hirup. Kita harus memutuskan, menghirup udara dalam – dalam di pagi hari, nafas teratus di ruangan,  atau menahan nafas ditengah polusi.
Jadi kita harus punya filter masing – masing. Mana yang harus kita terima, mana yang harus kita biarkan berlalu.
Ini juga yang selalu saya ingat...
Orang yang paling banyak membicarakan kita adalah dia yang sering kita ajak membicarakan orang lain. Dengan kata lain, orang yang sering membicarakan kita adalah yang dekat dengan kita. Eitss! Jangan salah faham dengan sahabat. Ini berbeda sama sekali. Begini logikanya,
Jika kita bersahabat, itu adalah pertemanan yang sehat. Sedangkan orang yang suka membicarakan orang lain bersamamu, maka kemungkinan besar saat Ia bersama orang lain, Ia akan membicarakanmu. Karena saat Ia bersamamu kalian leluasa membicarakan orang lain, maka saat tak bersamamu, Ia menganggap berhak membicarakanmu, membongkar semua aibmu dan ‘menghabisimu’ bersama orang lain.
Ah! Terlalu bertele – tele.
Ini kisah lain yang saya ingat.

***
Seekor katak kerdil memanjat menara setelah banyak katak sebelumnya jatuh dan tak ada lagi yang sanggup memanjat menara itu. Namun tak disangka katak yang nampak lemah itu mampu mencapai puncak menara.
Difikir apa yang membuat katak itu mampu memanjat menara setinggi itu? - - -
Selama ia memanjat menara, ada ribuan katak lain dibawah sana yang meneriakinya, mencercah ‘kekerdilannya’ yang begitu sombong memanjat menara, mereka semua berteriak agar si katak kerdil turun saja daripada ia terjatuh nanti.
Namun ternyata si katak kerdil adalah katak yang tuli. Ia sama sekali tak mendengar apa yang katak lain teriakkan dan terus memanjat tanpa mempedulikan teriakan – teriakan itu. Tentu saja tak peduli, dia tuli.
Ingat! Jangan salah tangkap cerita ini ya. . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar