Suatu hari Harun bersama anaknya
pergi ke pasar dengan seekor kuda mereka.
“bapak macam apa itu? Tak
kasihan pada anaknya, dia egois hingga menyuruh anaknya berjalan sedangkan dia
menaiki kuda”
Lantas Harun turun dan
mempersilahkan anaknya menaiki kuda sedangkan Ia berjalan mengiringi kuda itu.
Seseorang mencercah
“bapak mmacam apa itu? Dia tak
mengajari anaknya sopan santun hingga si anak tanpa sopan naik kuda sedangkan
bapaknya berjalan”
Harun menurunkan anaknya dan
mereka berdua berjalan mengiringi kuda, seseorang membicarakan mereka
“kenapa mereka mubadzir tenaga?
Mereka membawa kuda namun tak memakainya, justru mereka menghabiskan tenaga
untuk berjalan kaki, bukankah itu sangat mubadzir?”
Hingga Harun dan anaknya menaiki
kuda tersebut, seseorang menyeru
“kenapa mereka tak memiliki rasa
kasihan? Seekor kuda seharusnya membawa seorang saja, mengapa mereka berdua
menaikinya sekaligus?”
***
Itu
sepenggal cerita yang selalu saya ingat dan membuat saya berfikir tentang apa
saja yang kita lakukan meski kita berfikir itu yang terbaik, selalu ada saja
orang yang akan berkomentar miring. Karena itu sudah menjadi fitrah
manusia, untuk membicarakan sisi negatif orang lain meski sebenarnya orang itu
tak melakukan hal yang buruk.
Mereka
berbicara solah – olah mereka yang paling benar meski sebenarnya mereka tak
lebih baik dari yang dibicarakan, itu fitrah.
Hanya saja
sebenarnya hal ini bisa dirubah.
Jika saja
kita tak terlalu sibuk mencari kesalahan orang lain...
Jika saja
kita memiliki kegiatan lain yang tak ‘mengharuskan’ kita membicarakan orang
lain...
Andai saja
semua orang memiliki kesibukan yang positif hingga kita tak perlu repot – repot
memikirkan kelakuan orang lain
Tapi apa
bisa? Sedangkan itu adalah fitrah?
Setidaknya
kita harus memulai dari diri kita sendiri.
Sudah tau
ghibah itu haram kenapa masih kita lakukan? Karena logikanya, jika kita tau
ghibah atau membicarakan keburukan orang lain itu haram sedangkan kita tetap
melakukannya itu berarti kita hanya tau, tapi tak percaya.
Seperti
halnya kita tahu kalau bintang itu sebenarnya besar, tapi karena kita selalu
melihat bintang kecil ketika malam maka yang kita percayai adalah bintang itu
kecil.
Hal yang
sama persis, kita tau membicarakan orang itu tidak boleh, haram, dosa,
berakibat fatal... tapi karena kita tak pernah merasakan dampaknya secara
langsung, maka kita percaya bahwa membicarakan orang itu tak apa – apa. Itu
salah! Remember!
Lantas apa
yang harus kita lakukan jika kita adalah objeknya?
Jika kita
menerima semua perkataan orang tentang kita, maka kita akan “mati”. Rasa
percaya diri kita akan kian menurun hingga akhirnya kita tak mampu lagi
menampakkan wajah kita ke dunia.
Tapi perlu
dicatat jika kita tak mendengarkan orang lain sama sekali, kita akan kian
sombong dan suatu hari jatuh tanpa ada yang menolong.
Lalu apa?
Seperti
udara yang kita hirup. Kita harus memutuskan, menghirup udara dalam – dalam di
pagi hari, nafas teratus di ruangan,
atau menahan nafas ditengah polusi.
Jadi kita
harus punya filter masing – masing. Mana yang harus kita terima, mana yang
harus kita biarkan berlalu.
Ini juga
yang selalu saya ingat...
Orang
yang paling banyak membicarakan kita adalah dia yang sering kita ajak
membicarakan orang lain. Dengan kata lain, orang yang sering
membicarakan kita adalah yang dekat dengan kita. Eitss! Jangan salah faham
dengan sahabat. Ini berbeda sama sekali. Begini logikanya,
Jika kita
bersahabat, itu adalah pertemanan yang sehat. Sedangkan orang yang suka
membicarakan orang lain bersamamu, maka kemungkinan besar saat Ia bersama orang
lain, Ia akan membicarakanmu. Karena saat Ia bersamamu kalian leluasa
membicarakan orang lain, maka saat tak bersamamu, Ia menganggap berhak
membicarakanmu, membongkar semua aibmu dan ‘menghabisimu’ bersama orang lain.
Ah! Terlalu
bertele – tele.
Ini kisah
lain yang saya ingat.
***
Seekor katak
kerdil memanjat menara setelah banyak katak sebelumnya jatuh dan tak ada lagi
yang sanggup memanjat menara itu. Namun tak disangka katak yang nampak lemah
itu mampu mencapai puncak menara.
Difikir apa
yang membuat katak itu mampu memanjat menara setinggi itu? - - -
Selama ia
memanjat menara, ada ribuan katak lain dibawah sana yang meneriakinya,
mencercah ‘kekerdilannya’ yang begitu sombong memanjat menara, mereka semua
berteriak agar si katak kerdil turun saja daripada ia terjatuh nanti.
Namun
ternyata si katak kerdil adalah katak yang tuli. Ia sama sekali tak mendengar
apa yang katak lain teriakkan dan terus memanjat tanpa mempedulikan teriakan –
teriakan itu. Tentu saja tak peduli, dia tuli.
Ingat!
Jangan salah tangkap cerita ini ya. . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar