Senin, 07 Agustus 2017

Tukang tambal ban yang bijak


Siang ini aku harus mendorong motorku. Lagi. Tapi ini tidak terlalu buruk, karena aku bersama seorang teman. Maksudku, mendorong motor dengan ban yang bocor sendirian jauh lebih berat dibanding dua orang. Dan lebih menyedihkan. Setidaknya aku bisa bergantian.
Seingatku di dekat simpang lima di depan sana ada tukang tambal ban. Ah, pekerjaan itu memang sangat cocok di Indonesia. Entah kenapa aku berpikir begitu, mungkiin karena aku yang menyukai film tidak pernah melihat adegan menambal ban di film-film luar negeri. Jadi aku menyimpulkan pekerjaan tambal ban hanya ada di Indonesia. Meskipun aku salah tentang pemikiran ini, bagiku bukan masalah. Pemikiran ini tak akan mengubah apapun bukan?
Tapi simpang lima itu, sepertinya sejauh satu atau satu setengah kilo meter dari sini. Ini bukan masalah lelah, ini menyebalkan. Dan kau tahu, mendorong motor dengan kondisi ban bocor jauh lebih berat ketimbang mendorongnya dengan ban normal. Mungkin beratnya sampai tiga atau empat kali lipat.
Tapi seperti yang kau ingat, aku bersama Eva. Jadi ini tak apa.
Ah, itu dia si tukang tambal ban. Tapi jalanan terlalu ramai, aku tak berani menyebrangkan diriku sendiri apalagi mendorong motor ini. ini terlalu sulit.
“Bapak... tolong ambil motornya, saya tidak bisa menyebrang” teriakku sambil melambai ke arah pria paruh baya di sebrang jalan, dia sedang sibuk menambal ban sepeda. Tapi aku juga pelanggan. Jadi dia tak bisa menolaknya.
“mari menyeberang” katanya sembari tersenyum ramah setelah sampai di sisiku dan memegangi setir motorku. Siap-siap mendorong.
“saya akan menyebrang nanti, bersama teman saya. Sekarang dia sedang membeli minuman” jawabku pada Bapak tukang tambal ban.
Bapak paruh baya mulai mengerjakan motorku. Mengeluarkan ban dalam dari tempatnya, meraba ban luar dari dalam barangkali ada paku menancap, memompa ban dalam dan merendamnya dalam air untuk menemukan bagian mana yang berlubang dan seterusnya. Sembari bapak itu berbincang dengan salah seorang perempuan diantara kami. Tentu saja bukan aku. Aku orang yang canggung, yang hanya menjawab ya dan tidak atau jawaban yang paling pendek yang dapat kupikirkan saat berbincang dengan orang baru. Perempuan itu mungkin pemilik sepeda yang sedari tadi terbalik sambil dikerjakan –juga– bannya.
Aku hanya menyimak percakapan itu. Mereka berbicara tentang lalu lintas dan banyaknya kecelakaan yang terjadi.
“kenapa mereka menanam bunga berduri di sepanjang jalan” ujar Bapak. Yang dimaksudkan adalah mereka yang berwenang atas apa yang di tanam di sepanjang jalan utama. Mungkin bupati dan jajarannya, mungkin dinas pertamanan kota, atau siapa saja lah. Yang jelas bukan warga sekitar. Dan bunga berduri itu adalah bugenvil, mungkin menurut mereka bunga ini akan mempercantik jalanan yang panas, lagi pula perawatan bunga ini juga tak sulit. Tapi Bapak berpikiran lain.
“bunga ini tidak bermanfaat, hanya mendatangkan sampah disekitarnya” katanya sambil membersihkan tempat kerjanya dari puluhan bunga kering berserakan yang jatuh hanya karena tertiup angin. Bunga-bunga di tepian jalan. Sedangkan ban-ban yang ia kerjakan masih dalam proses pemanasan.
“jika bunganya berduri, hati pengendaranya juga berduri. Akan sumpek berada di jalan dan akhirnya banyak terjadi kecelakaan” sambung Bapak “kemudian bunga-bunga ini akan berganti dengan kamboja” Ia tersenyum “seperti yang di Mojodeso”
aku mengingat tempat itu, yang dimaksud Bapak adalah jalan raya yang berdampingan dengan kuburan dengan banyak pohon bunga kamboja disepanjang tembok kuburan. Dan di daerah itu, seingatku, menurut rumor yang beredar adalah daerah rawan kecelakaan. Ah ya, Ayahku sendiri juga perna mengalami kecelakaan di sekitar situ.
“harusnya mereka menanam pohon kelapa. Rindang. Orang-orang juga bisa mendapatkan maanfaat darinya”
Aku teringat sejuta manfaat pohon kelapa. Semua orang tau akan manfaat itu. Dan aku setuju dengan perkataan Bapak. Bapak tukang tambal ban yang bijaksana.
Aku hari ini, seorang mahasiswa strata satu belajar dari seorang tukang tambal ban yang entah lulus sekolah lanjutan atau tidak bahwa pemikiran yang bijaksana tidak memilih dari mulut siapa ia keluar. Bisa saja seorang lulusan perguruan tinggi membicarakan hal-hal kosong sedangkan seorang tukang parkir berbicara tentang bagaimana baiknya infrastruktur yang sesuai dengan Indonesia. Kebijaksanaan tidak bisa dipelajari. Ini tidak bisa didapat di bangku formal manapun. Karena guru dari kebijaksanaan bukanlah dosen. Guru dari kebijaksanaan adalah kehidupan. Dan siapa saja bisa jadi lebih bijaksana dari orang-orang berpangkat, berdasi rapi dan berparas jabatan tinggi.

Menjadi rendah hati adalah pelajaran pertama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar